Rabu, 12 Maret 2014

Tafsiran Naratif Narasi Nazar Yefta Hakim-Hakim 11:29-40


Nama: Arke Steward Maindoka.
Mata Kuliah: Eksegese Naratif Perjanjian Lama.
Dosen : Pdt. Dr. S. E. Abram.
Narasi Nazar Yefta Hakim-Hakim 11:29-40
A.Membaca Cermat.
B.Mengenal Perikop Secara Keseluruhan.
Narasi ini merupakan sejarah kelam dari zaman para Hakim. Narasi ini ialah narasi “nazar Yefta”. Cerita ini berada dalam iring-iringan cerita keperkasaan dari Hakim Yefta, cerita ini terbentang dari pasal 10:6-12:7. Cerita ini bermula ketika bangsa Israel berada dalam tekanan dari bangsa Amon. Bangsa Amon sebenarnya adalah sanak keluarga dari Israel sebab, bangsa Amon berasal dari keturunan Lot, yang lahir dari putri kandungnya, masalah antara bangsa Israel dengan mereka ialah bangsa Amon telah melanggar batas tanah Israel di sebelah Timur Yordan (Hak 11).[1] Hal inilah sebab umum sedangkan sebab khususnya ialah bangsa Israel terpengaruh untuk beribadah kepada dewa-dewi orang Kanaan, sehingga Tuhan menyerahkan mereka ke tangan orang Amon.[2] Namun itulah keberadaan kehidupan dari bangsa Israel, kehidupan mereka bagaikan kurva, ada bagian yang paling tinggi ada bagian yang paling rendah. Ketika mereka jatuh mereka berseru, namun ketika mereka sudah bangkit, mereka kembali mengulangi kesalahan yang sama dan kembali jatuh lagi. Itulah corak kehidupan bangsa Israel pada zaman para hakim.
Dalam rangkaian cerita ini diceritakan Yefta sebagai hakim pada masa itu. Yefta mempunyai pengalaman yang kelam pada masa lalu. Pengalamannya ialah dia diusir oleh saudara-saudara, sebab dia dilahirkan oleh seorang perempuan sundal. Ayah dari Yefta bernama Gilead. Dalam narasi ini Gilead seolah-olah tidak ada pembelaan terhadap perlakuan sudara-saudara Yefta terhadap Yefta sendiri, mungkin hal ini sejalan dengan cerita Hagar dan Ismael.[3] Yefta diusir dan pergi ke tanah Tob. Tanah Tob terletak di sebelah Timur sungai Yordan, tepatnya berada di daerah kekuasaan kerjaan Aram.[4]Tidak dijelaskan berapa lama Yefta tinggal di tanah Tob. Namun yang jelas mungkin Yefta sudah berkeluarga dan mempunyai seorang anak. Seorang anak perempuan, anak semata wayan. Dalam cerita ini tida dijelaskan siapa nama anak Yefta, yang lazim di dengar hanya sebutan “”anak Yefta”. Bangsa Israel mendapat gempuran yang hebat dari bangsa Amon, sehingga mereka tidak dapat mengalahkan mereka. Maka sebagai keputusan akhir mereka pergi kepada Yefta yang ada di tanah Tob. Kenapa harus Yefta, alasannya ialah Yefta adalah pemimpin para pembelot/kafilah yang paling ditakuti di daerah itu.[5] Ini semua berdasarkan keputusan dari para tua-tua dan bukan atas izin dari Tuhan, namun keputusan dari para tua-tua disetujui oleh Tuhan, hal itu terbukti dalam pasal 11:29.
Yefta melakukan prundingan dengan raja Amon namun tidak mendapatkan sambutan yang baik, karena itu terjadilah peperangan antara kedua daerah itu. Semangat dan emosi dari Yefta telah menyatu, akal sehat dari Yefta sudah mulai hilang. Ambisi kekuasaan sudah merasuki dia. Keinginannya hanyalah dia harus menang atas bangsa Amon. Bahkan dia bernazar kepada Tuhan bahwa kalau dia menang atas pertempuran ini, maka dia akan memberikan korban bakaran kepada Tuhan. Korban bakaran ini ialah apa saja yang keluar dari pintu yang menyongsong dia, maka dialah yang akan dikorbankan sebagai korban bakaran. Dalam bahasa Yefta “menjadi kepunyaan Tuhan”. Secara telak bangsa Amon kalah kepada Yefta, bangsa amon tidak lagi berkutik di hadapan bangsa Israel di bawah pimpinan Yefta. Yefta senang atas kemenangan yang sudah didapatkan, sehingga dia pulang ke Mizpa. Namun apa yang terjadi anak perempuan satu-satunya datang menyongsong dia. Pastilah perasaan dari anaknya senang sebab dia boleh melihat kembali ayahnya. Namun ketika melihat hal itu Yefta, menjadi kaget dan teringat akan nazarnya kepada Tuhan, dengan penuh penyesalan Yefta mengeluh kepada Tuhan, namun dalam narasi ini nasi telah berubah menjadi bubur, yefta telah terjabak antara dua jalan, jalan itu ialah mempertahankan nama baik atau mengorbankan anaknya yang tunggal.
Setelah Yefta menjelaskan hal itu kepada anaknya, dalam narasi ini respon yang ditunjukkan oleh anak Yefta ialah menerimanya. Namun dengan satu syarat yang dia ajukan yaitu dalam jangka waktu dua bulan, izinkanlah dia mengembara ke pegununggan mengisi kegadisannya bersama sama dengan teman-teman yang sebaya dengan dia. Syarat itu langsung diterima oleh Yefta. Setelah dua bulan berlalu anak Yefta kembali, dan Yefta melakukan seperti yang telah dia nazarkan kepada Tuhan. Dari Cerita ini munculah tradisi bahwa anak-anak perempuan Israel, selama 40 hari dalam satu tahun meratapi anak perempuan Yefta, orang Gilead itu.
C.  Komponen-Komponen Dan Seni Dalam Narasi Nazar Yefta Hakim-Hakim 11:29-40.
c.1. Struktur Narasi.
Untuk memahami narasi Nazar Yefta (Hakim-Hakim 11:29-40), ada tiga (3) bagian yang perlu diperhatikan dalam struktur narasi yaitu:

·       Pendahuluan
Bagian pendahuluan dalam narasi ini terbentang dari ayat 29-33. Bagian ini  adalah pemicu dari sejarah gelap zaman para hakim yang memerintah bangsa Israel ketika mereka telah masuk ke tanah perjanjian. Bagian pembukaan ini cukup jelas diuraikan dalam narasi ini. Bermula ketika Yefta melakukan perlawanan kepada bangsa Amon. Yefta  adalah seorang hakim Ibrani pada masa kemudian kira-kita tahun 1100sM, namanya dalam bahasa Ibrani yiftakh, mungkin dipendekan dari yiftakh-el yang artinya Allah membuka (rahim).[6] Sungguh indah arti dari nama Yefta, makna dari namanya sengat kental dengan feminis. Namun keindahan nama seseorang, seringkali bebanding terbalik dengan tindak dan tanduknya yang dia tunjukkan dalam kehidupan sehari hari. Narator dalam narasi ini membuka dengan menjelaskan bahwa Roh TUHAN menghinggapi Yefta. Narasi ini diawali dengan hal yang demikian, supaya para pembaca dapat mengerti bahwa sebelumnya kekuasaan Yefta atas memerintah bangsa Israel belum dikukuhkan TUHAN. Sebab awalnya Yefta menjadi pemimpin hanyalah berdasarkan desakan dari para tua-tua Isarel, makanya dalam narasi ini diawali dengan penjelasan ini. Supaya memberikan penegasan bahwa kepemimpinan hakim Yefta atas otoritas TUHAN, dan bukan otoritas dari manusia. Dalam tardisi orang Israel ketika seseorang menjadi pemimpin, pahlawan dan melakukan hal-hal yang mengagumkan alasannya ialah karena Roh TUHAN ada pada dirinya, karena itu semua tindakan, adalah manifestasi dari kekuatan ilahi yang berasal dari Roh.[7] Bahkan dikatakan bahwa Roh TUHAN ini tidak permanen tinggal dan berkarya dalam kehidupan manusia, misalnya kasus Saul.[8]
Bahkan Roh TUHAN yang menghinggapi hakim Yefta turut memberikan semangat kepadanya. Di mana Yefta melakukan perjalanan yang sangat jauh. Di mana dia berjalan melalui Gilead terus berjalan ke sebelah Barat ke Manasye, di mana Yefta harus melewati sungai Yordan, kemungkinan dia ke sana untuk meminta bantuan supaya kekuatan perajurtinya semakin banyak. Setelah dari sana dia berjalan ke sebelah Timur (berjalan kembali melalui sungai Yordan) menuju ke Mizpa. Mizpa arti dasarnya ialah menara jaga atau tempat untuk berjaga-jaga.[9] Mungkin Yefta ketika berada di situ mulai mematangkan rencanannya untuk mengempur Amon. Hal itu sejalan dengan alur cerita di mana setelah dari Mizpa Yefta langsung bergerak ke sebelah Selatan, daerah ini ialah daerah orang Amon. Kalau diperhatikan ada perbedaan yang sangat mendasar antara BIS-LAI dan TB-LAI mengenai bagian cerita ini. Kalau BIS memulainya dengan ayat 34 sedangkan TB-LAI memulainya dengan ayat 29. Tidak diketahui secara jelas kenapa ada perbedaan, namun berdasarkan pemahaman penulis mungkin TB-LAI hanya ingin membuat benang merah antara Nazar Yefta dan kelanjutannya. Namun di tengah-tengah perbedaan ini ke dua Alkitab ini menyajikan makna dan cerita yang sama.
Ayat 30 dalam bagian pendahuluan menguraikan tentang nazar dari Yefta. Nazar yang dia nazarkan lain dari pada yang lain. Di mana dia bernazar apa saja yang menyongsong dia sewaktu kembali, maka dia akan dikorbankan sebagai korban bakaran. Nazar persembahan dari Yefta, ada kemungkinan bukan merujuk kepada hewan, sebab kalau pun hewan maka itu tidak akan ada artinya sangat mungkin persembahan yang dimaksudkan ialah “perembahan manusia”.[10] Nazar adalah suatu usaha manusia untuk menguatkan permintaan atau untuk membujuk Tuhan untuk memberikan apa yang diminta.[11] Yefta seolah terhanyut dalam kemabukan kekuasan dan kehormatan, yang mungkin ada dalam pemikirannya hanyalah menundukkan bangsa Amon. Yefta mungkin berpikir bahwa manusia dijadikan sebagai alat nazar itu merupakan hal biasa. Maklum saja Yefta sempat hidup lama, di dalam kehidupan bangsa kafir, yaitu di tanah Tob yang merupakan daerah kerajaan Aram. Orang-orang Aram mempunyai unsur-unsur agama padang gurun.[12] Ciri utama dari agama padang gurun ialah membujuk tuhan, jalannya ialah dengan memberikan korban manusia supaya tuhan mereka menjadi senang dan terhibur sehingga memberkati mereka.  Berakar dari sini, menyebabkan asumsi bahwa korban yang dimaksud ialah korban manusia cukup masuk akal, hal itu di dasarkan atas cerita yang coba dituturkan oleh narator.
Walaupun hal itu dikutuk (Im 18:21,20:2-5 Ul 12-31, 18:10).[13]Rasa ambisi yang tidak baik oleh Yefta telah melumpuhkan pemikirannya, dia tidak berpikir kalau seandainya dia menang atas pertempuran itu, maka orang yang paling pertama menyongsongnya ialah anaknya. Hal itu tidak dapat dibantah sebab dalam narasi Alkitab Perjanjian Lama, ketika para pentara dan pejuang kembali dari medan pertempuran maka, para perempuan (orang-orang terdekat) akan menyongsong mereka dengan menggunakan alat-alat musik misalnya rebana dan tari-tarian. Hal ini sejalan dengan kisah Miriyam, sewaktu bangsa Israel telah melewati laut Teberau. Dalam bagian ini. Sebenarnya sosok kepemimpinan Yefta sedang berada dalam ujian, untuk menimbang dan memputuskan suatu konflik batin yang ada pada dirinya, namun keputusan sudah diambil dia memilih memebrikan korabn manusia untuk membujuk Tuhan, supaya mengaruniakan kemenangan kepadanya. Yefta tidak berpikir bahwa saat ini dia sementara mempersipakan kematian bagi anak perempuannya. Kata “kemudian”[14] dalam ayat 32 dalam cerita ini, merupakan batasan waktu yang menjelasakan bahwa cerita ini terus berlanjut ke waktu yang selanjutnya. Ternyata penyertaan TUHAN kepada Yefta berbuah manis, bangsa Amon diluluh-lantakan. Bahkan menurut cerita kekealahan yang dirasakan oleh bangsa Amon sangat berat. Dua puluh kota bukanlah kota yang sedikit di mulai dari Aroer sampai dekat Minit, bukan hanya samapi ke Minit tetapi samapai ke Abel-Keramim. Terkesan dalam cerita ini narator menggambarkan secara mendetail tentang area batas arae yang ditundukan oleh Yefta. Pertama Minit terletak pada jalan Yordan ke tanah tinggi dekat Rabat Amon dan Hesybon, sedanangkan Aroer merupakan batas Selatan bangsa Amon dengan Kerajaan orang Amori.[15] Dari sini narator mengajak para pembaca untuk membayangkan betapa luasanya daerah yang dihancurkan oleh Yefta dan perajuritnya. Ini semua tidak lepas dari perlindungan dan kehendak Tuhan, di mana Tuhan menyerakan bangsa Amon kepada bangsa Israel. Namun dari bagian inilah para pembaca sementara dituntun oleh narator untuk masuk dalam konflik yang lebih dalam lagi, yang menyangkut tentang nazar dari Yefta.
·       Perkembangan.
Bagian perkembangan dalam narasi ini terdapat dalam ayat 34-39a. Apa yang disebutkan sebagai sejarah kelam zaman para hakim sangat jelas termaktup dalam bagian ini. Sejarah kelam itu ialah anak perempuan Yefta sebagai bukti kesetiaan terhadap nazar. Merie Claire Barth Frommel menyebut cerita ini sebagai “cerita celaka”.[16] Kanapa dikatakan seperti itu sebab dari cerita ini tidak ada keadilan, pembebasan dan keuntungan di antara dua belah pihak, takutnya kalau cerita ini digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk menindas perempuan secara fisik. Dalam narasi ini dibuka dengan tabir waktu, narator mengunakan kata “ketika”.[17] Dalam jangka waktu yang singkat, mungkin setelah mereka menghancurkan bangsa Amon mereka kembali dan Yefta pulang kerumahnya. Ada tradisi bahwa ketika seseorang pulang, apalagi dia mendapatkan kemenangan maka, orang-orang yang ditinggalkan akan menyongsong mereka sambil memukul rebana dan menari-nari, yang menyongsong Yefta adalah anak perempuannya, yang merupakan anak tunggal. Dalam narasi ini narator banyak membuka babak demi babak dalam cerita ini dengan menggunakan tabir waktu, dalam bagian ini diwakili oleh kata “demi”.
Kata “demi” ini mempunyai makna spontan, cepat dan lekas. Ada kemungkinan bahwa ketika Yefta melihat putrinya dia teringat akan Nazarnya kepada TUHAN. Alkitab sama sekali tidak menyebutkan bahwa Allah meminta Yefta untuk bernazar seperti itu, nazar itu diungkapakan secara langsung dan spontan oleh Yefta.[18] Ada kemungkinan bahwa nazar itu dilontarkan oleh Yefta sebagai wujud ketakutannya, kalau Tuhan Tidak berpihak kepadanya sehingga membiarkan bangsa Israel terus berada dalam penindasan bangsa Amon, sehingga untuk menarik perhatian dari TUHAN perlu untuk ada nazar. Namun yang patut disayangkan Yefta tidak percaya pada kebaikan Allah untuk membebaskan Israel.[19]Para hakim termasuk Yefta hanyalah alat yang dipakai TUHAN sebagai realisasi penyelamatan TUHAN.
Setelah tersadari dari buaian kekuasaan dan kehormatan, mata Yefta terbuka. Sebagai wujud penyesalan yang sangat dalam dia mengoyahkan pakaiannya. Namun begitulah keadaannya. Yefta tetap konsisten untuk melaksankan nazarnya, dengan kata-kata yang menusuk dia mencoba meluapkan perasaannya. Hal ini dalam ilmu Psikologi wajar, ketika seseorang menginginkan sesuatu maka dengan segala macam usaha akan dia kerjakan untuk menggapainya, namun setelah menggapainya hati dan pikirannya akan mencoba berpikir kembali, menimbang akan apa yang sudah dia lakukan. Pada bagian ini maka akan ditemukan kesalahan dari metode yang dipakai. Hal inilah yang berlaku pada Yefta. Dia hanya berpikir untuk satu pihak dan tidak berpikir untuk pihak yang lain. Respon yang ditunjukkan oleh Yefta hanyala perasaan penyesalan atas nazarnya yang terlalu berani. Bagian inilah sejarah gelap kepemimpinan (figur seorang hakim). Namun secara mengejutkan anak Yefta menerima nazar tersebut, tidakkah diperhatikan aspek emosional dari anak Yefta pasti dia kaget, takut dan tidak menerima nasib yang disodorkan oleh ayahnya terhadap dia. Bahkan dari segi pengalaman hal ini, para pembaca diajak untuk berempati dengan anak Yefta. Namun dalam cerita ini anak Yefta seolah tidak mempunyai daya dan kuasa untuk menentang hal tersebut. Setiap orang tidak ingin dijadikan korban atau objek pelengkap saja, seperti yang dialami oleh anak Yefta. Anak Yefta terasa dibelenggu oleh belenggu sistem Patriaki sehingga dia tunduk akan apa yang ayahnya inginkan. Karena sistem legal dalam masyarakat Patriaki menempatkan perempuan pada posisi yang berbeda (yang tidak baik) dan tidak menguntungkan, sebelum menikah anak perempuan harus tunduk kepada ayahnya; kalau ayahnya tidak ada maka dia harus tunduk kepada saudaranya laki-laki bahkan setelah menikah dia harus tunduk kepada suaminya.[20]Memang sangat sulitlah berada dalam posisi seperti anak Yefta.
Bagian akhir dalam ayat 36 cukup unik, secara tersirat bagian ini merupakan protes atas nasib yang diberikan Yefta kepada anaknya. Kalau diperhatikan bagian itu berbunyi “karena TUHAN telah mengadakan bagimupembalasan terhadap musuhmu yakni bani Amon”. Memang terkesan kalimat ini tidaklah bermasalah, namun kalau diperhatikan kata-kata yang dicetak agak tebal, memberikan kuncinya. Kunci itu ialah akhiran ganti orang pertama tunggal “ku”, kata ini memberikan makna bahwa kejadian ini turut diboncengi oleh kepentingan-kepentingan pribadi. Sehingga kalau dipahami kalimat yang diucapkan oleh anak Yefta adalah kalimat keluhan dan gugatan atas ketidakadilan yang dia rasakan.
Dalam uraian narasi ini, anak Yefta tetap tegar menerima takdirnya, yang kalau boleh dikatakan itu semua adalah kesalahan dan ambisi dari Yefta. Di mana tidak ada keseimbangan yang ada hanyalah berat sebelah. Kebaikan dan keuntungan hanya di rasakan oleh satu pihak, sedangkan anak Yefta mendapatkan kerugian dan kemalangan yang besar, dan hal itu juga tanpa sepengetahuan dan seizin dari dia. Apakah TUHAN akan menerima korban bakaran, di mana korban itu adalah manusia, bahkan secara tersirat nazar ini bukan berasal dari TUHAN, namun berasal dari Yefta sendiri. Dalam narasi ini ada kecenderungan bahwa sebenarnya dapatlah untuk tidak ditunaikan, karena itu bertentangan dengan aturan-aturan yang berlaku, sebab dalam kitab Imamat tidak menyebutkan satupun bahwa, korban yang dapat dipersembahkan adalah manusia.[21]Apalagi nazar itu mempunyai latar belakang agama kafir (agama padang gurun). Dari sini sebenarnya nazar itu dapat dibatalkan namun karena, Yefta adalah seorang publik figur yang baru saja naik daun dikalangan bangsa Israel, maka ada perasaan malu untuk membatalkannya atau mengingkari nazarnya itu. Maklum saja, posisi yang baik ini baru dia dapatkan, setelah sekian lama dia harus menyingkir dan tidak diperhitungkan, namun sekaranglah waktunya pembuktian hal tersebut. Di mana anaknya dijadikan korban demi, mempertahankan nama baiknya di hadapan tua-tua dan bangsa Israel.
Mungkin dengan penuh berat hati, anak Yefta mengajukan satu syarat kepada ayahnya. Syarat itu sangat jelas diuraikan dalam ayat 37. Syarat itu adalah kesempatan bagi anak Yefta untuk bergaul dengan teman-temannya di pegunungan dalam jangka waktu dua bulan. Bagi Yefta ini bukanlah syarat yang sukar untuk dipenuhi, makanya dia mengiyakan syarat tersebut. Dalam cerita kenapa harus pengununggan, tempat di mana anak Yefta pergi bersama-sama dengan teman-temannya. Sebab di pegunungan adalah tempat yang tenang jauh dari keramaian (dapat dijadikan tempat perenungan) dan melihat keindahan alam.[22] Dalam ayat 37 dan 38 ada kata yang sangat unik dimasukan dalam narasi ini, kata itu ialah “menangisi kegadisan”. Sangat sulit untuk menentukan maksud dari kata tersebut. “menangisi kegadisan” ini dikutip dari TB-LAI, kalau diperhatikan kata ini sangat sulit untuk dipahami. Namun kalau kata itu dilihat dalam BIS-LAI, maka narator dalam BIS-LAI memakai kalimat untuk menjelaskan hal itu. Kalimat itu adalah “.......manangisi nasib saya, sebab saya meninggal semasa masih perawan”. Hal itulah yang dijelaskan oleh narasi ini melalui narator seperti yang ada dalam ayat 37 dan 38. TB-LAI seolah menyamarkan, akan perasaan dari anak Yefta. Perasaan itu ialah sedih, kecewa, marah bahkan penyesalan. Namun dalam BIS LAI hal itu terpampang jelas, bahwa walupun anak Yefta belum mati, mereka sudah menangisi akan nasib yang menimpa dia.
Cerita dalam BIS-LAI ayat 38 menguraikan seperti ini “.......bersedih hati .....karena ia meninggal sebelum menikah dan menpunyai anak”. Kesedihan yang sangat besar dirasakan oleh anak Yefta sebeb dia mati sebelum menunaikan tugas mulia dari seorang perempuan yaitu mengandung dan melahirkan.[23] Kehidupan dari anak Yefta terlalu singkat bahkan ada kecenderungan bahwa dia tidak sempat menikmati kehidupan sebagai seorang anak muda, kemudaan dari anak Yefta dicekal oleh ayahnya sendiri.Anak Yefta tidak diberikan kesempatan untuk, menjalani hidupnya sebagaimana mestinya. Ayat 39 diuraikan oleh narator secara mendalam di mana, waktu yang diajukan sudah habis dan  tibalah saatnya nazar akan dilaksanakan. Dalam narasi ini Yefta seolah tidak ada beban dalam melaksankan tugas ini, hal itu secara jelas ditunjukkan oleh narator dalam narasi ini (ayat 39). Hal itu bisa demikian sebab Yefta mempunyai pengalaman yang buruk dengan perempuan, sebab dia diusir karena dia dilahirkan dari seorang perempuan sundal, hal inilah yang membuat Yefta sangat sulit untuk berempati dengan posisi anak perempuannya.[24] Pengalamannya yang buruk menyebabkan anak Yefta dan Yefta sendiri harus membayar mahal akan itu. Bahkan narasi terasa janggal sebab, di mana letak seorag ibu, ketika anak semata wayannya akan dikorbankan sebagai nazar bagi TUHAN. Namun itulah keadaannya posisi seorang ibu tidak diekspos dan ditonjolkan dalam bagian ini, posisi seorang ibu didiamkan dan tidak diizinkan untuk angkat bicara. Anak Yefta merupakah tumbal dari keegoisan, kesombongan, keangkuhan dan keserakahan dari Yefta sendiri. Yefta adalah seorang hakim, tidak dapat menjadi hakim yang adil dalam kehidupan keluarganya. Kata-katanya bagaikan alat peledak yang setiap saat menunggu pemicu, yang ada hanyalah perasaan berdosa dan sakit hati, yang dikarenakan ketidakadilan. Hal itu nyata ketika emosi Yefta sudah mulai tidak terkontrol sehingga dia berperang dengan Efraim. Bahkan kejadian ini menjadi duri dalam daging Yefta, sehingga dalam masa pemerintahannya hanya relatif singkat di mana hanya enam tahun memerintah dan meninggal dunia.[25]Hal itu ada kemungkinan bahwa sebenarnya Yefta merasa sakit hati dan tertekan atas kesalahan yang berat yang sudah dia lakukan. Hal itu terbukti dalam passal selanjutnya (pasal 11), di cerita bahwa Yefta meninggal.
·       Penutup.
Bagian penutup dalam narasi ini terbentang dari ayat 39b sampai 40. Cukup singkat bagian penutup, narasi ini menuturkan bagian akhir yang tidak menyenangkan, sebab anak Yefta harus menerima takdir yang buruk menimpa kehidupannya. Sehingga bagian ini di bukan lagi oleh narator dengan bentang waktu, melalui kata “jadi” merupakan penghubung akan bagian yang sebelumnya ke bagian yang selanjutnya, bahkan kata jadi bukan saja penghubung tetapi mempunyai makna penjelasan bahwa anak Yefta sama sekali tidak pernah mengenal laki-laki. dari sini tersirat makna bahwa anak Yefta masih relatif muda atau masih dalam usia remaja sebab dia belum mengenal percintaan atau pertunanganan. Selanjutnya kata “dan” digunakan oleh narator untuk menghubungkan peristiwa itu dengan keadaan yang ada di masa yang akan datang, seolah-olah pembaca berada dalam dua bentang waktu. Pertama berada dalam bentang waktu zaman Yefta dan kedua bentang waktu pada saat cerita ini dituturkan. Penulis cukup mahir, karena itu dia menyisipkan corak sastra etiologi supaya bangsa Israel terus mengingat kejadian yang menimpa putri Yefta, kajadian itu terselip dalam adat yang ada di bangsa Israel  bahwa setiap tahun selama 40 hari meratapi akan nasib yang menimpa anak Yefta.[26] Kata kerja meratapi atau merayakan adalah sama dengan kata kerja yang diterjemahkan dalam Hak 11:5 (menyanyikan). Sehingga ada kemungkinan orang-orang yang berkunjung ditempat itu menyanyikan nyanyian untuk menginhat anak Yefta. Namun walaupun terus dikenangkan namun kejadian ini menurut para ahli Perjanjian Lama merupakan buku hitam dari para hakim yang mendiskriminasi kaum perempuan, bahakn dalam buku tafsiran Perjanjian Lama mengaris bawahi narasi ini. Supaya tidak menjadi tolok ukur dalam kehidupan umat manusia, melainkan pembelajaran agar kejadian yang seperti ini tidak terulang lagi, bagian akhir cerita ini memberikan pemahaman untuk melakukan transformasi agar peristwa ini tidak terulang terus-menerus dalam kehidupan manusia.
C.2. Alur Atau Plot
Jalan cerita dalam narasi ini kalau dicermati seolah ada dua jalan cerita. Bagian pertama (ayat 29-39a) merupakan alur mundur, bagian kedua merupakan alur maju (ayat 39b-40) di mana bagian ini merupakan kesimpulan dari ayat 29-39a, sebab dalam kurun waktu itu narator ada dan menuturkan cerita tersebut. Bagian awal hanyalah merupakan penjelasan yang menyebabkan peristiwa yang ada dalam 39b-40 ada dalam kehidupan bangsa Israel. Berdasarkan hal itu alur yang ada dalam narasi nazar Yefta berupa alur campuran. Di mana dalam satu cerita ada beberapa jalan ceria yang menjelasakan cerita itu. Ayat 29-39a menguraikan peristiwa di masa lalu (para hakim), dalam cerita itu diceritakan Yefta yang berperang melawan orang Amon dan dia bernazar kepada Tuhan, bahwa apa saja yang menyongsong dia , sewaktu dia kembali dari medan perang maka dia akan dikorbankan untuk TUHAN. Namun perlu digaris bawahi bahwa nazar ini bukan atas inisiatif  TUHAN ini semua berdasarkan keinginan Yefta sendiri. Pada kahirnya Yefta memukul kalah orang Amon hingga, mereka kalah secara besar dan tidak berdaya. Apa yang terjadi anak perempuannyalah yang datang menyongsong dia, sebab ini adalah tradisi.[27] Hati Yefta menjadi sedih melihat hal demikian, namun apa yang sudah dikatakan tidak dapat ditarik kembali. Selanjutnya cerita cepat berpindah dan menjelaskan bahwa anak Yefta menerima takdirnya untuk dikorbankan. Dengan syarat bahwa dalam waktu 2 bulan dia akan pergi ke pegununggan untuk menangisi nasib yang menimpa dia. Setelah dua bulan dia kembali dan nazarpun dilaksanakan. Perpindahan waktu di tandai kata “Jadi” dan “dan” hal itu menadahkan bahwa peristiwa meratapi atau menyanyikan nyanyian di pegunungan selama 40 hari dala setahun mempunyai latar belakang kehidupan di masa lalu yaitu Yefta dan anak Yefta.

C.3. Penokohan/Karakter.
Ø Yefta: karakter Yefta dalam narasi ini ialah pemberani, ambisius, egois hal itu ditunjukkan oleh narator dalam ayat 29-33. Bahkan sisi negatif dalam karakter Yefta ialah tidak bijaksana karena dia tidak dapat berpikir mana yang kehendak TUHAN dan mana yang tidak dikehendaki oleh TUHAN. Walaupun mempunyai karakter pemberani sebenarnya Yefta mempunyai perasaan Takut hal itu secara jelas diuraikan dalam ayat 30, berupa nazar kepada TUHAN, katakutan Yefta jangan-jangan TUHAN tidak menolong dia dan hanya membiarkan mereka kalah. Maka usaha yang Yefta gunakan ialah membujuk TUHAN dengan cara  mengutarakan nazar kepada TUHAN. Yefta tidak sadar bahwa TUHAN tidak perlu dibujuk, sebab Dia bertindak sesuai dengan apa yang dia kehendaki.
Ø Anak Yefta: karakter yang ditunjukan olah anak Yefta dalam narasi ini ialah Penurut, di mana ketika ayahnya kembali dari peperangan dia patuh perhadap adat saat itu (ayat 34) dan patuh terhadap pertintah dari ayahnya (36). Di tengah-tengah karakter penurut anak Yefta mempunyai karakter yang keras, di mana dia berusaha membelah haknya sebagai seorang manusia. Hal itu secara jelas ditunjukkan dalam ayat 36. Narator menggungakan kata “tetapi”.[28]  Kata ini menyelasakan sikap yang keras dari anak Yefta dalam memprotes nasib yang disodorkan ayahnya kepadanya.
C.4. Konflik Atau Kontras
Konflik dalam narasi ini bermula ketika Yefta mempunyai ambisi untuk menghancurkan bangsa Amon. Dengan penuh kebanggaan Yefta mengutarakan nazar kepada Tuhan. Ketika orang mengutarakan nazar kepada TUHAN maka dia akanmenyuarakannya dengan suara yang nyaring dan penuh kebanggaan. Nazar itu cukup kontroversial sebab nazar itu berbunyi “maka apa yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi kepunyaan TUHAN dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran.” Seperti itulah nazar dari Yefta, apakah Yefta lupa atau tidak mengenai tardisi bahwa  ada pesta penyambutan bagi setiap pahlawan perang yang baru pulang dari  medan pertempuran. Penyambutan yang dilakukan ialah orang-orang terdekat dari para pahlawan. Dalam kasus ini ialah anak Yefta sendiri.
Yefta berpikir bahwa dengan bernazar kepada TUHAN, itu berarti dia sementara membujuk TUHAN supaya apa yang dia cita-citakan dapat terwujudkan. Disinilah letak kesalahan dari Yefta, dia lupa bahwa TUHAN Allah Israel bukanlah seperti demikian. Dia tidak perlu untuk dibujuk dia melaksanakan tugasnya berdasarkan kehendaknnya, manusia hanyalah alat yang Dia pakai untuk merealisasikan janji dan kasihnya. Pengorbanan manusia bagi Yefta itu adalah hal biasa sebab, Yefta tidak dibesarkan di bawah norma-norma yang berlaku di bangsa Israel. Namun Yefta banyak terpengaruh dengan agama-agama gurun, yang memberikan persembahan dengan memberikan korban manusia.[29]
Nazar sudah diucapakan, dan kenyataannlah yang berbicara. Anak semata wayan dari Yefta datang menyongsong dia dengan penuh perasaan yang senang yang dia luapkan melalui tari-tarian dan memukul rebana sebagai tanda syukurnya karena ayahnya kembali dengan selamat dari medan perang. Hal ini merupakan kebangan tersendiri bagi seorang anak, ketika melihat ayahnya kembali membawa kemenangan. Namun apa yang terjadi bukan perasaan yang sama, yang ditunjukkan oleh Yefta melainkan dia sedih bahkan mungkin takut. Sebab apa yang dia nazarkan itu, terjadi dan anak perempuannyalah yang harus dipersembahkan. Konflik terus menjadi besar bahkan segi emosi turut mengambil bagian, namun itulah kenyataannya anak Yefta, menjadi tumbal atas keangkuahan, keegoisan dari Yefat sendiri, sebenarnya hal itu dapat dibatalkan namun karena Yefta hanya memilih nama baiknya, yang sudah dia usahakan dalam beberapa waktu ini, maka dia harus membayar mahal yaitu mengorbankan anaknya. Anak Yefta menjadi korban atas kekerasan hati ayahnya. Konflik dalam narasi ini tidak menonjolkan peran dari seorang ibu, bagaimana dia melihat anak satu-satunya akan dikorbankan. Namun dalam konflik ini sosok seorang ibu dibungkamkan dan anak Yafta dibuat seolah-olah mengikuti apa yang diperintahkan oleh ayahnya. Konflik agak menjadi redah di saat anak Yefta mengajukan starat kepada ayahnya. Konflik dalam narasi ini menguraikan penindasan terhadap perempuan, di mana sosok perempuan hanya dijadikan sebagai pelengkap dan kalau dibutukan atau dikorbankan tidaklah apa-apa. Secara tersirat konflik ini memebrikan makan bahwa ketidakadilan mewarani sejarah kelam masa para hakim. Di mana mereka hanya berpihak kepada pihak yang satu, dan siap sedia mengorbankan pihak yang lain demi keberlangsungan nama baik mereka.
C.5. Setting.
§  Tempat: latar tempat dalam narasi ini sangat banyak dimulai dengan daerah Gilead, Manasye, Mispa dan daerah orang Amon (ayat 29 dan 32). Bahakn kalau mau dipersempit lagi tempat dari cerita ini ialah rumah Yefta (ayat 34) dan pegununggan (ayat 37-38).
§  Waktu: dalam narasi ini penulis banyak menggunakan bingkai waktu yang hanya ditandai dengan kata-kata, ada bebarapa bagian yang secara jelas menunjukkan waktu itu sendiri seperti dalam ayat (37-39) jangak waktu dua bulan. Sedangkan bingkai waktu yang hanya menggunakan kata-kata ialah “lalu....” ayat 29, “maka....” ayat 31, “Ketika......” ayat 34, “dan...... jadi.....” ayat39.
§  Suasana: narator menunjukkan susana dalam narasi ini cukup bervareasi ada suasana yang penua amarah saat bereperang dan keberanaian (ayat 29-33). Bahakan ada suasana yang sedih digambarkan oleh narator dalam ayat 35 dan perasaaan yang senang dirasakan oleh anak Yefta saat menyongsong ayahnya ayat 34. Namun suasasna yang pesimis dirassakan dalam narasi ini, di mana ada perasaan anak Yefta yang tidak bersedia menjadi korban, sebagai pembayaran nazar ayahnya, hal itu secara tersirat ditunjukkan dalam ayat 36.
C.6. Gaya/Style.
Dalam narasi ini hal yang hendak ditonjolkan ialah mengenai nazar, inti dari cerita ini ialah nazar, sehingga narasi ini menguraikan bahwa sebanranya nazar yang diucapakan oleh Yefta bukanlah atas kehendak TUHAN melainkan karena keinginannya sendiri. Nazar bagi Yefta merupakan alat untuk membujuk TUHAN supaya dia dapat kemenangan yang sementara dikejarnya. Narator dalam cerita ini cukup jelih karena dia menguraikan dengan gaya yang cukup baik dalam penjelasan. Pendiskriminasian perempuan memberikan tanda tersendiri, di mana perempuan atau dalam hal ini anak Yefta menjadi tumbal dalam nazar itu. Terkesan dalam narasi ini sangat sedikit dialog yang ada, hampir keseluruhan adalah urian dari cerita itu. Anak Yefta menjadi objek dalam merealisasikan nazar yang sama sekali dia tidak ketahui, korban manusia turut diberikan sorotan dalam bagian ini karena korban manusia merupakan kekejaian bagi TUHAN, sebab kebiasaan ini berakar dari agama Kafir. Sebnaranya nazar itu dapat dihentikan sebab, hal itu sama sekali tidak mendapatngkan syalom melainkan hanya melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan yang sering dianggap sebagai barang. Sebab manalah mungkin Yefta bernasar seperti itu tanpa memiliki dasar pemikiran yang awal, memanglah budaya patriaki banyak mempengaruhi pemikiran dari Yefta sendiri.
C.7. Narator
Dalam narasi ini narator banyak mengambil peranan dibandingkan dengan karakter-karakter yang ada dalam narasi ini (Yefta dan anak Yefta). Narator banyak menjelaskan jala cerita ini. Pada awalnya narator mengator bahwa Yefta dihinggapi oelh Roh Tuhan sehingga dia berjalan di beberapa daerah, pembaca diajak oleh narator untuk membayangkan bagaimana jauhnya perjalanan yang ditempuh oleh Yefta. Secara mengejutkan para pembaca dibawa oleh narator pada suatu adegan yang cukup unik dan tidak lazim terjadi dalam kalangan kehidupan orang Israel saat itu. Hal itu ditunjukkan oleh narator dalam ayat 30 melalui mulut dan suara nyaring dari Yefta, yang dimaksud oleh narator ialah “nazar”. Nazar yang dimaksud ialah memberikan korban bakaran kepada TUHAN, namun korban bakaran ini ada syaratnya. Korban itu ialah “sesuatu” yang menyongsongnya ketika dia kembali dengan selamat mengalahkan bangsa Amon. Narator sangat pelit dalam informasi pada bagian ini, sebab terasa mengambang nazar yang dimaksud itu adalah apa? Ternyata narator sedikit memberi celah atas apa yang hendak dinazarkan oleh Yefta, para pembaca diundang olah narato untuk berpetualang apakah yang sebenarnya terjadi. Ternyata nazar itu ialah memberikan korban manusia, hal itu memang perkiraan namun kalau merujuk dengan apa yang disajikan oleh narator pada bagian sebelumnya, ini agak masuk akal. Sebab Yefta pernah menetap di darah kerajaan Aram, di mana penduduk setempat memeluk agama gurun, yang kalau ingin membujuk tuhan mereka, harus memberikan persembahan korban manusia. Itu bukti yang pertama, bukti yang kedua kalau nazar Yefta merujuk kepada manusia ialah korban hewan tidaklah sebanding dengan apa yang akan Tuhan berikan kepadanya, yaitu seluruh orang Amon. Sehingga Yefta berpikir juga bahwa apa yang akan dia perembahkan harus seimbang juga.
Narator menunjukkan bahwa Yefta menang atas pertempuran tersebut dan memporak-porandakan daerah-daerah orang Amon. Secara mengejutkan narator menunjukkan kepada para pembaca suatu keadaan yang genting di mana yang menyongsong Yefta adalah anak semata wayannya. Ini merupakan tradisi yang mungkin sudah melakat dalam kehidupan dari bangsa Israel, anak Yefta sama sekali tidak mengetahui bahwa dia sudah menjadi objek korban untuk pembayaran nazar. Dalam bagian ini narator menyajikan bahwa anak Yefta seolah berdiri di antara dua jalan, dia menjalani itu dan menjatuhkan pilihannya untuk emyongsong ayahnya, sebab hati seorang anak pasti akan bersukacita melihat ayahnya kembali dari perang dangan selamat sejahtera. Namun ketika ayahnya melihat dia, narator secara cepat menguba suasana saat itu menjadi sedih, sebab Yefta telah teringat akan janjinay. Beberapa rsepon ditunjukkan oleh narator, untuk melukiskan perasaan yang sangat dalam dari Yefta, sebanarnya Yefta dapat membatalkan nazar itu, sebab nazar itu tidak berakar pada agama para leluhur bangsa Isarel. Yefta diperhadapakan di antara dua pilihan memlih menyelamatkan anaknya dan menyelamatkan nama baiknya yang baru saja pulih. Namun pilihan sudah dijatuhkan dia memilih nama baiknya dan mengorbankan anaknya. Secara jelas diutarahkan oleh narator dalam ayat 36 dengan menggunakan kata “tetapi”. Kata ini  menjelasakan bahwa sebenarnya anak Yafta tidak setuju akan nasib yang disodorkan ayahnya kepada dia. Namun karena sisitem patriaki saat itu sangat kuat, menyebabkan perempuan tidak memliki kebebasan untuk memlih hidupnya, kebebasan perempuan dikebiri, sebab perempuan seringkali diidentikan dengan barang. Sangat memperihatinkan nasib yang melanda anak Yefta, yang merupakan jembatan  ayahnya untuk menujuh sukses kehidupan dan nama baik.
Secara berat hati, melalui kata-kata yang coba narator tunjukkan, anak Yefta mengajukan syarat, para pembaca dibuat tegang apakah gerangan syarat itu, apakah syarat itu dapat membeaskan anak Yefta dari jerat ayahnya atau sebaliknay. Para pembaca dikejutkan bahwa dalam jangka waktu 2 bulan dia dan teman-temanya akan pergi kepegunungan untuk menangisi nasib yang menimpah dia. Narator secara cepat beralih langsung pada 2 bulan berikutnya. Sehingga apa yang dinasarkan oleh Yefta akan dilaksanakan, dalam bagian ini narator sama sekali tidak banyak bicara atau menjelaskan sebab, mengenai hal ini sama sekali tidak ada penjelasan, narator mempunyai alasan bahwa ini merupakan ketimpangan atau ketidakadilan yang dirasakan oleh perempaun, sehingga tidak patutlah untuk dipertajam, narator langsung berpindah dari satu masa ke masa yang lain. Masa itu ialah masa yang kemudian sebab  narator membawa cora sastar etiologi dalam ayat 40.
C.8. Seni Dalam Dialog.
Dalam bagian ini, dialog sangat sediki yang hanya terbentang dari ayat 35-38. Para tokoh diberikan kesempatan berbicara hanya beberapa saat saja. Selanjutnay diambil alih oleh narator. Dialog yang terjadi dalam ayat 35 hanyalah berupa perenungan dari Yefta bahwa ada yang salah dari nazar yang sudah diutarakan. Selanjutnya dengan nada yang agak sedih anak Yefta menjawab apa yang diutarakan oleh ayahnya. Walaupun hanya singkat dialog dalam narasi ini, para pembaca mengerti akan jalannya cerita dalam narasi ini.
C.9. Seni Dalam Bercerita.
Seni yang hendak ditonjolkan adalah hal yang tidak diduga-duga sebab Yefta mengucapakn nazar kepada TUHAN, tanpa dia ketahui apa yang kelak akan terjadi di depan sana. Seni etiologi sebab dalam cerita ini memberikan penjelasan akan asal-usulnya perataman atau menyanyikan nyanyian di pegunungan selama 40 hari dalam setahun. Bahkan ketika manusia berkata, manusia harus terlebih dahulu memikirkan apa, konsekuensi dari kata-kata yang sudah diaucpakan.
C.10. Seni Dalam Kata-Kata
Dalam bagian ini ada beberapa kata-kata yang seolah menjadi bagian penting dalam narasi ini. Kata-kata itu ialah nazar, kata ini menjelasakan akan suatu usaha manusia supaya apa yang dia inginkan dapat diluluskan oleh TUHAN. Bahkan dari kata ini, anak Yefta yang tidak bersalah turut merasakan imbasnya. Bahkan anak Yefta yang menjadi korban utama dari hal ini, yang mempunyai latar belakang dari agama kafir. Kata selanjutnay yaitu mengisi kegadisan yang mempunyai makna, melakukan perenungan atau meratapi akan nasib buruk yang datang dalam kehidupan. Pegunungan juga mempunyai makna tempat perenungan yang paling baik, ketika ada dalam permasalahan. Serta ada kata-kata yang digunakan oleh narator untuk menujukan bingkai waktu dalam narasi ini kata-kata itu ialah lalu, maka, ketika, jadi dan dan.
C.11. Seni Dalam Tindakan.
Seni dalam tindakan tang muncul dalam narasi ini ialah pararel di mana ada bagian narasi yang lain mirip seperti yang terdapat dalam 2 raja 3:27. Bagian ini meceritakan  perbuatan Mesha mengorbankan putra sulungnya, dijadikan sebagai korban bakaran di atas pagar tembok. Perbedannya hanyala anak Yefta perempuan dan anak Mesha laki-laki.

C.12. Pesan.
Keagungan dan kesemarakan dari hakim Yefta ternyata mempunyai bagian yang paling gelap dalam sejarah kehidupannya. Bagian kegelapan itu ialah rasa memliki dalam kehidupannya sangat rendah. Bahkan dapat dikatakan Yefta tidak menghargai perempuan, apalagi dalam kasus ini perempuan itu adalah anak kandungnya. Bahakn makna dari nama Yefta yang lebih condong kepada perempuan tidak mewakli sikap dan tindakan dalam realitas kehidupannya, pengalaman buruk tentang perempuan telah membutakan mata jasmani dan hatinya. Sehingga tidak segan-segan dia mengorbankan anaknya. Narasi ini sebenarnya memberikan transformasi/ pembaruan dalam kehidupan masyarakat patriaki saat itu. Anak perempuan Yefta seolah menjadi pembuka jalan bagi sekian banyak perempuan dalam memperjuangkan haknya, yaitu hak kebebasan. Sebab dalam narasi ini segi pembebasan hendak ditonjolkan, sebab kehidupan masyarkat yang patriaki yang mewajibkan perempuan tunduk kepada laki-laki, mendapat angin segar. Bahwa kalau ada kewajiban-kewajiban yang diusulkan oleh laki-laki, di mana usul itu tidak masuk akal atau mendiskriminasikan perempaun. Maka permuan mempunyai kesempatan untuk meyuarakan isi hatinya. Permpuan bukanlah barang yang dapat dikorbankan pada saat-saat tertentu, perempuan sama dengan laki-laki yang diciptakan oleh Tuhan untuk maksud yang kudus, guna mewujudkan damai sejahterah. Tidakan Yefta tidak sejalan dengan hal itu, sebenarnya Yefta melakukan kesalahan yang sangat besar, namun untuk membenarkannya dia menutupi hal itu dengan kedok keagamaan.
Cerita ini perlu ditelaah kembali, sebab walaupun Yefta telah bersalah namun dalam rangkaian cerita dia tetap ditonjolkan. Penonjolannya juga di segi yang positif, kesalahannya tidak diekspos keluar, namun diredam dan didiamkan begitu saja, walaupun dari sini lahir sebuah tradisi meratap. Hubungan timbal balik dalam narasi ini sama sekali tidak ada, yang ada hanyalah keuntungan sepihak, yang mengarah kepada Yefta. Yefta lebih mempertahankan nama baiknya dibandingkan dengan menyelamatkan nyawa anak satu-satunya. Bahkan anak Yefta tidak mendapat keadilan sebab dalam narasi ini anak Yefta seolah mengikuti perintah dari ayahnya. Bahkan sosok dari seorang ibu tidak ditonjolkan, sebab walaupun kehidupan patriaki namun kalau menyangkut nyawa pasti perasaan seorang ibu akan melahirkan tindakan untuk menegur Yefta yang telah keliru mengambil jalan. Anak Yefta dan ibunya sengaja dibuat mengikuti perintah Yefta, seolah mereka robot yang dapat diperintah sesuai dengan kehendak dari si pemakai. Sebab sepanjag sejarah kehidupan manusia tidak ada seorangpun anak yang akan bersedia untuk dikorbankan, pasti kalau diperhadapkan dengan situasi ini akan ada pemberontakan, pertikaian bahkan permusuhan. Sebab sudah tidak ada keseimbangan yang memberikan dampak yang baik bagi kedua pihak. Bahkan semua ahli Perjanjian Lama sepakat dalam buku tafsiran mereka, hal ini merupakan pembelajaran supaya tidak akan terjadi lagi. Tindakan Yefta dapat dipertanyakan, kalau seandainya anaknaya adalah laki-laki pasti/mungkin akan membatalkan nazar tersebut, sebab nazar itu berlandaskan pada agama kafir. Namun karena budaya patriaki sangat kuat maka Yefta turut terhanyut dengan keadaan itu. Perempuan janganlah dijadikan sebagai objek pelengkap saja, namun perempuan perlu untuk dipahami apa adanya, bukan ada apanya. M.C.B Frommel memberikan penegasan yang keras mengenai narasi ini. Menurutnya cerita ini adalah “cerita celaka” tampaknya Marie, mempunyai ketakutan kalau narasi ini salah dipahami oleh sebagian orang sehingga, memberikan legitimasi pengorbanan manusia (perempuan). Sebab hal itu dicatat dalam Alkitab, ketakuatn bahwa narasi ini digunakan untuk menjadi senjata untuk menindas kau perempuan, ada alasan narasi ini tetap dipertahankan dalam Alkitab  dan tidak dihapus, sebab narasi ini memberikan pelajaran baik yang dapat dipetik, walaupun kesalahan namun memberikan pelajaran yang baru dan baik dalam kehidupan manusia. Perlu untuk diingat juga bahwa ketika manusia melakukan kebaikan, maka pastinya akan membuahkan kebaikan. Namun sebaliknya kalau manusia telah melakukan kesalahan dan mengorbankan oknum yang lain, maka hasilnya juga adalah bencana dan petka.













Daftar Pustaka
Bakker F.L. Sejarah Kerajaan Allah I “Perjanjian Lama”.  Jakarta: BPK Gunung Mulia,1996.
Blommendaal J. Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
Formmel Marie C.B, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu. Jakata: BPK Gunung Mulia, 2011.
Lasor W.S, Hubbard D.A, Bush F.W. Pengantar Perjanjian Lama 1 (Taurat dan Sejarah). Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Lembaga Biblika Indonesia.  Tafsiran Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Karman Yonky. Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
King Philip J, Stager Lawrence E. Kehidupan Orang Israel Alkitabiah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Siahaan S.M. Ruakh Dalam Perjanjian Lama “Tinjauan Historis-Teologis Atas Pengertiaan Roh”.  Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Timo Eben Nuban, Hagar dan Putri-Putrinya “Perempuan-Perempuan Tertindas Dalam Alkitab”. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Yayasan Komunikasi Bina Kasih.Tafsiran Alkitab Masa Kini I Kejadian-Ester. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2010.
Variezen Th.C.Agama Israel Kuno.  Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Referensi
LAI. Alkitab. Jakarta: LAI, 2010.
LAI. Alkitab Edisi Studi. Jakarta: LAI, 2011.
LAI. Alkitab Kabar Baik Dalam Bahasa Indonesia Sahari-Hari. Jakarta: LAI, 1986.
Suharso, Retnoningsih Ana. Kamus Besar Bahasa Indoneis Edisi Lux. Semarang: CV. Widya Karya, 2009.
Yayasan Komunikasi Bina Kasih. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I A-L. Jakarta: YKBK, 2007.
Yayasan Komunikasi Bina Kasih. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z. Jakarta: YKBK, 2007.





[1] Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I A-L. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011. Hal 41-42.
[2]Lihat Hakim-Hakim 10:6-9.
[3]Bdk dengan Kejadian 16:1-16 dan Kejadian 21:8-21.
[4]Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011. Hal  485.
[5]F.L. Bakker, Sejarah Kerajaan Allah I “Perjanjian Lama”. Jakarta; BPK Gunung Mulia, 1996. Hal 443.
[6] Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011. Hal  553.
[7] S.M. Siahaan. Ruakh Dalam Perjanjian Lama “Tinjauan Historis-Teologis Atas Pengertian Roh”. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012. Hal 21.
[8] Bdk dengan buku S.M. Siahaan. Ruakh Dalam Perjanjian Lama “Tinjauan Historis-Teologis Atas Pengertian Roh”. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012. Hal 45-49.
[9] Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011. Hal  89.
[10] Lihat Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011. Hal  553.
[11] Th.C. vriezen. Agama Israel Kuno. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001. Hal 91.
[12] Th.C. vriezen. Agama Israel Kuno. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001. Hal 59
[13] Lembaga Alkitab Indonesia, Tafsiran Alkitab Perjanjian Lama.  Yogyakarta: Kanisius, 2002. Hal 262.
[14] Kemudian menurut kamus bahasa Indonesia mempunyai arti yang datang, waktu yang akan datang, kelak belakangan hari sesudah itu akhirnya.
[15] Lihat Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II A-L. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011. Hal 86.
[16] Marie Claire Barth Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011. Hal 71.
[17]Menurut kamus bahasa Indonesia kata ini menerangkan waktu yang sangat singkat atau pendek
[18] W.S.Lasor Dkk, Pengantar Perjanjian Lama I “Taurat dan Sejarah”. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010. Hal 311.
[19] Lembaga Alkitab Indonesia, Tafsiran Alkitab Perjanjian Lama.  Yogyakarta: Kanisius, 2002. Hal 262.
[20] Philip J. King, Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012. Hal 56.
[21] Bdk dengan buku W.S.Lasor Dkk, Pengantar Perjanjian Lama I “Taurat dan Sejarah”. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010. Hal 220-221.
[22] Lihat Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II A-L. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011. Hal 350.
[23] Bdk dengan Kejadian 1:28.
[24] Bdk dengan Hakim-Hakim 11:1-3.
[25] Otniel memerintah 40 tahun, Debora  memeritah 40 tahun, Tola memerintah 30 tahun, Yair memerintah 20 tahun, Elon memerintah 10 tahun, Abdon memerintah 8 tahun, Ebzan memerintah 7  sedangkan Yefta hanya memerintah 6 tahun.
[26] Yayasan Komunikasi Bina kasih, Tafsiran Alkitab Masa Kini I Kejadian-Ester. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2010. Hal 212-213.
[27] Lihat Philip J. King, Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012. Hal 58.

[28] Kata “tetapi” mempunyai arti kata penghubung  untuk menyatakan hal yang berlawanan atau bertentangan.
[29] Bdk dengan buku W.S.Lasor Dkk, Pengantar Perjanjian Lama I “Taurat dan Sejarah”. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010. Hal 311.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar