Nama: Arke Steward
Maindoka.
Mata Kuliah: Eksegese
Naratif Perjanjian Lama.
Dosen : Pdt. Dr. S. E.
Abram.
Narasi Nazar Yefta Hakim-Hakim 11:29-40
A.Membaca Cermat.
B.Mengenal Perikop Secara Keseluruhan.
Narasi ini merupakan sejarah kelam
dari zaman para Hakim. Narasi ini ialah narasi “nazar Yefta”. Cerita ini berada
dalam iring-iringan cerita keperkasaan dari Hakim Yefta, cerita ini terbentang
dari pasal 10:6-12:7. Cerita ini bermula ketika bangsa Israel berada dalam
tekanan dari bangsa Amon. Bangsa Amon sebenarnya adalah sanak keluarga dari
Israel sebab, bangsa Amon berasal dari keturunan Lot, yang lahir dari putri
kandungnya, masalah antara bangsa Israel dengan mereka ialah bangsa Amon telah
melanggar batas tanah Israel di sebelah Timur Yordan (Hak 11).[1]
Hal inilah sebab umum sedangkan sebab khususnya ialah bangsa Israel terpengaruh
untuk beribadah kepada dewa-dewi orang Kanaan, sehingga Tuhan menyerahkan
mereka ke tangan orang Amon.[2]
Namun itulah keberadaan kehidupan dari bangsa Israel, kehidupan mereka bagaikan
kurva, ada bagian yang paling tinggi ada bagian yang paling rendah. Ketika
mereka jatuh mereka berseru, namun ketika mereka sudah bangkit, mereka kembali
mengulangi kesalahan yang sama dan kembali jatuh lagi. Itulah corak kehidupan
bangsa Israel pada zaman para hakim.
Dalam rangkaian cerita ini diceritakan
Yefta sebagai hakim pada masa itu. Yefta mempunyai pengalaman yang kelam pada
masa lalu. Pengalamannya ialah dia diusir oleh saudara-saudara, sebab dia
dilahirkan oleh seorang perempuan sundal. Ayah dari Yefta bernama Gilead. Dalam
narasi ini Gilead seolah-olah tidak ada pembelaan terhadap perlakuan
sudara-saudara Yefta terhadap Yefta sendiri, mungkin hal ini sejalan dengan cerita
Hagar dan Ismael.[3]
Yefta diusir dan pergi ke tanah Tob. Tanah Tob terletak di sebelah Timur sungai
Yordan, tepatnya berada di daerah kekuasaan kerjaan Aram.[4]Tidak
dijelaskan berapa lama Yefta tinggal di tanah Tob. Namun yang jelas mungkin
Yefta sudah berkeluarga dan mempunyai seorang anak. Seorang anak perempuan,
anak semata wayan. Dalam cerita ini tida dijelaskan siapa nama anak Yefta, yang
lazim di dengar hanya sebutan “”anak Yefta”. Bangsa Israel mendapat gempuran
yang hebat dari bangsa Amon, sehingga mereka tidak dapat mengalahkan mereka.
Maka sebagai keputusan akhir mereka pergi kepada Yefta yang ada di tanah Tob.
Kenapa harus Yefta, alasannya ialah Yefta adalah pemimpin para pembelot/kafilah
yang paling ditakuti di daerah itu.[5]
Ini semua berdasarkan keputusan dari para tua-tua dan bukan atas izin dari
Tuhan, namun keputusan dari para tua-tua disetujui oleh Tuhan, hal itu terbukti
dalam pasal 11:29.
Yefta melakukan prundingan dengan raja
Amon namun tidak mendapatkan sambutan yang baik, karena itu terjadilah
peperangan antara kedua daerah itu. Semangat dan emosi dari Yefta telah
menyatu, akal sehat dari Yefta sudah mulai hilang. Ambisi kekuasaan sudah
merasuki dia. Keinginannya hanyalah dia harus menang atas bangsa Amon. Bahkan
dia bernazar kepada Tuhan bahwa kalau dia menang atas pertempuran ini, maka dia
akan memberikan korban bakaran kepada Tuhan. Korban bakaran ini ialah apa saja
yang keluar dari pintu yang menyongsong dia, maka dialah yang akan dikorbankan
sebagai korban bakaran. Dalam bahasa Yefta “menjadi kepunyaan Tuhan”. Secara
telak bangsa Amon kalah kepada Yefta, bangsa amon tidak lagi berkutik di hadapan bangsa Israel di bawah pimpinan Yefta. Yefta senang
atas kemenangan yang sudah didapatkan, sehingga dia pulang ke Mizpa. Namun apa
yang terjadi anak perempuan satu-satunya datang menyongsong dia. Pastilah
perasaan dari anaknya senang sebab dia boleh melihat kembali ayahnya. Namun
ketika melihat hal itu Yefta, menjadi kaget dan teringat akan nazarnya kepada
Tuhan, dengan penuh penyesalan Yefta mengeluh kepada Tuhan, namun dalam narasi
ini nasi telah berubah menjadi bubur, yefta telah terjabak antara dua jalan,
jalan itu ialah mempertahankan nama baik atau mengorbankan anaknya yang
tunggal.
Setelah Yefta menjelaskan hal itu
kepada anaknya, dalam narasi ini respon yang ditunjukkan oleh anak Yefta ialah
menerimanya. Namun dengan satu syarat yang dia ajukan yaitu dalam jangka waktu
dua bulan, izinkanlah dia mengembara ke pegununggan mengisi kegadisannya
bersama sama dengan teman-teman yang sebaya dengan dia. Syarat itu langsung
diterima oleh Yefta. Setelah dua bulan berlalu anak Yefta kembali, dan Yefta
melakukan seperti yang telah dia nazarkan kepada Tuhan. Dari Cerita ini
munculah tradisi bahwa anak-anak perempuan Israel, selama 40 hari dalam satu
tahun meratapi anak perempuan Yefta, orang Gilead itu.
C.
Komponen-Komponen
Dan Seni Dalam Narasi Nazar Yefta Hakim-Hakim 11:29-40.
c.1. Struktur Narasi.
Untuk memahami narasi Nazar Yefta
(Hakim-Hakim 11:29-40), ada tiga (3) bagian yang perlu diperhatikan dalam
struktur narasi yaitu:
·
Pendahuluan
Bagian pendahuluan dalam narasi ini
terbentang dari ayat 29-33. Bagian ini adalah pemicu dari sejarah gelap zaman para
hakim yang memerintah bangsa Israel ketika mereka telah masuk ke tanah
perjanjian. Bagian pembukaan ini cukup jelas diuraikan dalam narasi ini.
Bermula ketika Yefta melakukan perlawanan kepada bangsa Amon. Yefta adalah seorang hakim Ibrani pada masa
kemudian kira-kita tahun 1100sM, namanya dalam bahasa Ibrani yiftakh, mungkin dipendekan dari yiftakh-el yang artinya Allah membuka
(rahim).[6]
Sungguh indah arti dari nama Yefta, makna dari namanya sengat kental dengan
feminis. Namun keindahan nama seseorang, seringkali bebanding terbalik dengan
tindak dan tanduknya yang dia tunjukkan dalam kehidupan sehari hari. Narator
dalam narasi ini membuka dengan menjelaskan bahwa Roh TUHAN menghinggapi Yefta.
Narasi ini diawali dengan hal yang demikian, supaya para pembaca dapat mengerti
bahwa sebelumnya kekuasaan Yefta atas memerintah bangsa Israel belum dikukuhkan
TUHAN. Sebab awalnya Yefta menjadi pemimpin hanyalah berdasarkan desakan dari
para tua-tua Isarel, makanya dalam narasi ini diawali dengan penjelasan ini.
Supaya memberikan penegasan bahwa kepemimpinan hakim Yefta atas otoritas TUHAN,
dan bukan otoritas dari manusia. Dalam tardisi orang Israel ketika seseorang
menjadi pemimpin, pahlawan dan melakukan hal-hal yang mengagumkan alasannya
ialah karena Roh TUHAN ada pada dirinya, karena itu semua tindakan, adalah
manifestasi dari kekuatan ilahi yang berasal dari Roh.[7]
Bahkan dikatakan bahwa Roh TUHAN ini tidak permanen tinggal dan berkarya dalam
kehidupan manusia, misalnya kasus Saul.[8]
Bahkan Roh TUHAN yang menghinggapi
hakim Yefta turut memberikan semangat kepadanya. Di mana Yefta melakukan
perjalanan yang sangat jauh. Di mana dia berjalan melalui Gilead terus berjalan
ke sebelah Barat ke Manasye, di mana Yefta harus melewati sungai Yordan,
kemungkinan dia ke sana untuk meminta bantuan supaya kekuatan perajurtinya
semakin banyak. Setelah dari sana dia berjalan ke sebelah Timur (berjalan
kembali melalui sungai Yordan) menuju ke Mizpa. Mizpa arti dasarnya ialah
menara jaga atau tempat untuk berjaga-jaga.[9]
Mungkin Yefta ketika berada di situ mulai mematangkan rencanannya untuk
mengempur Amon. Hal itu sejalan dengan alur cerita di mana setelah dari Mizpa
Yefta langsung bergerak ke sebelah Selatan, daerah ini ialah daerah orang Amon.
Kalau diperhatikan ada perbedaan yang sangat mendasar antara BIS-LAI dan TB-LAI
mengenai bagian cerita ini. Kalau BIS memulainya dengan ayat 34 sedangkan
TB-LAI memulainya dengan ayat 29. Tidak diketahui secara jelas kenapa ada
perbedaan, namun berdasarkan pemahaman penulis mungkin TB-LAI hanya ingin
membuat benang merah antara Nazar Yefta dan kelanjutannya. Namun di
tengah-tengah perbedaan ini ke dua Alkitab ini menyajikan makna dan cerita yang
sama.
Ayat 30 dalam bagian pendahuluan
menguraikan tentang nazar dari Yefta. Nazar yang dia nazarkan lain dari pada
yang lain. Di mana dia bernazar apa saja yang menyongsong dia sewaktu kembali,
maka dia akan dikorbankan sebagai korban bakaran. Nazar persembahan dari Yefta,
ada kemungkinan bukan merujuk kepada hewan, sebab kalau pun hewan maka itu
tidak akan ada artinya sangat mungkin persembahan yang dimaksudkan ialah
“perembahan manusia”.[10]
Nazar adalah suatu usaha manusia untuk menguatkan permintaan atau untuk
membujuk Tuhan untuk memberikan apa yang diminta.[11]
Yefta seolah terhanyut dalam kemabukan kekuasan dan kehormatan, yang mungkin
ada dalam pemikirannya hanyalah menundukkan bangsa Amon. Yefta mungkin berpikir
bahwa manusia dijadikan sebagai alat nazar itu merupakan hal biasa. Maklum saja
Yefta sempat hidup lama, di dalam kehidupan bangsa kafir, yaitu di tanah Tob
yang merupakan daerah kerajaan Aram. Orang-orang Aram mempunyai unsur-unsur
agama padang gurun.[12]
Ciri utama dari agama padang gurun ialah membujuk tuhan, jalannya ialah dengan
memberikan korban manusia supaya tuhan mereka menjadi senang dan terhibur
sehingga memberkati mereka. Berakar dari
sini, menyebabkan asumsi bahwa korban yang dimaksud ialah korban manusia cukup
masuk akal, hal itu di dasarkan atas cerita yang coba dituturkan oleh narator.
Walaupun hal itu dikutuk (Im
18:21,20:2-5 Ul 12-31, 18:10).[13]Rasa
ambisi yang tidak baik oleh Yefta telah melumpuhkan pemikirannya, dia tidak
berpikir kalau seandainya dia menang atas pertempuran itu, maka orang yang
paling pertama menyongsongnya ialah anaknya. Hal itu tidak dapat dibantah sebab
dalam narasi Alkitab Perjanjian Lama, ketika para pentara dan pejuang kembali
dari medan pertempuran maka, para perempuan (orang-orang terdekat) akan
menyongsong mereka dengan menggunakan alat-alat musik misalnya rebana dan
tari-tarian. Hal ini sejalan dengan kisah Miriyam, sewaktu bangsa Israel telah
melewati laut Teberau. Dalam bagian ini. Sebenarnya sosok kepemimpinan Yefta
sedang berada dalam ujian, untuk menimbang dan memputuskan suatu konflik batin
yang ada pada dirinya, namun keputusan sudah diambil dia memilih memebrikan
korabn manusia untuk membujuk Tuhan, supaya mengaruniakan kemenangan kepadanya.
Yefta tidak berpikir bahwa saat ini dia sementara mempersipakan kematian bagi
anak perempuannya. Kata “kemudian”[14]
dalam ayat 32 dalam cerita ini, merupakan batasan waktu yang menjelasakan bahwa
cerita ini terus berlanjut ke waktu yang selanjutnya. Ternyata penyertaan TUHAN
kepada Yefta berbuah manis, bangsa Amon diluluh-lantakan. Bahkan menurut cerita
kekealahan yang dirasakan oleh bangsa Amon sangat berat. Dua puluh kota
bukanlah kota yang sedikit di mulai dari Aroer sampai dekat Minit, bukan hanya
samapi ke Minit tetapi samapai ke Abel-Keramim. Terkesan dalam cerita ini
narator menggambarkan secara mendetail tentang area batas arae yang ditundukan
oleh Yefta. Pertama Minit terletak pada jalan Yordan ke tanah tinggi dekat
Rabat Amon dan Hesybon, sedanangkan Aroer merupakan batas Selatan bangsa Amon
dengan Kerajaan orang Amori.[15]
Dari sini narator mengajak para pembaca untuk membayangkan betapa luasanya
daerah yang dihancurkan oleh Yefta dan perajuritnya. Ini semua tidak lepas dari
perlindungan dan kehendak Tuhan, di mana Tuhan menyerakan bangsa Amon kepada
bangsa Israel. Namun dari bagian inilah para pembaca sementara dituntun oleh
narator untuk masuk dalam konflik yang lebih dalam lagi, yang menyangkut
tentang nazar dari Yefta.
·
Perkembangan.
Bagian perkembangan dalam narasi ini
terdapat dalam ayat 34-39a. Apa yang disebutkan sebagai sejarah kelam zaman
para hakim sangat jelas termaktup dalam bagian ini. Sejarah kelam itu ialah
anak perempuan Yefta sebagai bukti kesetiaan terhadap nazar. Merie Claire Barth
Frommel menyebut cerita ini sebagai “cerita celaka”.[16]
Kanapa dikatakan seperti itu sebab dari cerita ini tidak ada keadilan,
pembebasan dan keuntungan di antara dua belah pihak, takutnya kalau cerita ini
digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk menindas
perempuan secara fisik. Dalam narasi ini dibuka dengan tabir waktu, narator
mengunakan kata “ketika”.[17]
Dalam jangka waktu yang singkat, mungkin setelah mereka menghancurkan bangsa
Amon mereka kembali dan Yefta pulang kerumahnya. Ada tradisi bahwa ketika
seseorang pulang, apalagi dia mendapatkan kemenangan maka, orang-orang yang
ditinggalkan akan menyongsong mereka sambil memukul rebana dan menari-nari,
yang menyongsong Yefta adalah anak perempuannya, yang merupakan anak tunggal.
Dalam narasi ini narator banyak membuka babak demi babak dalam cerita ini
dengan menggunakan tabir waktu, dalam bagian ini diwakili oleh kata “demi”.
Kata “demi” ini mempunyai makna
spontan, cepat dan lekas. Ada kemungkinan bahwa ketika Yefta melihat putrinya
dia teringat akan Nazarnya kepada TUHAN. Alkitab sama sekali tidak menyebutkan
bahwa Allah meminta Yefta untuk bernazar seperti itu, nazar itu diungkapakan
secara langsung dan spontan oleh Yefta.[18]
Ada kemungkinan bahwa nazar itu dilontarkan oleh Yefta sebagai wujud
ketakutannya, kalau Tuhan Tidak berpihak kepadanya sehingga membiarkan bangsa
Israel terus berada dalam penindasan bangsa Amon, sehingga untuk menarik
perhatian dari TUHAN perlu untuk ada nazar. Namun yang patut disayangkan Yefta
tidak percaya pada kebaikan Allah untuk membebaskan Israel.[19]Para
hakim termasuk Yefta hanyalah alat yang dipakai TUHAN sebagai realisasi
penyelamatan TUHAN.
Setelah tersadari dari buaian
kekuasaan dan kehormatan, mata Yefta terbuka. Sebagai wujud penyesalan yang
sangat dalam dia mengoyahkan pakaiannya. Namun begitulah keadaannya. Yefta
tetap konsisten untuk melaksankan nazarnya, dengan kata-kata yang menusuk dia
mencoba meluapkan perasaannya. Hal ini dalam ilmu Psikologi wajar, ketika
seseorang menginginkan sesuatu maka dengan segala macam usaha akan dia kerjakan
untuk menggapainya, namun setelah menggapainya hati dan pikirannya akan mencoba
berpikir kembali, menimbang akan apa yang sudah dia lakukan. Pada bagian ini
maka akan ditemukan kesalahan dari metode yang dipakai. Hal inilah yang berlaku
pada Yefta. Dia hanya berpikir untuk satu pihak dan tidak berpikir untuk pihak
yang lain. Respon yang ditunjukkan oleh Yefta hanyala perasaan penyesalan atas
nazarnya yang terlalu berani. Bagian inilah sejarah gelap kepemimpinan (figur
seorang hakim). Namun secara mengejutkan anak Yefta menerima nazar tersebut,
tidakkah diperhatikan aspek emosional dari anak Yefta pasti dia kaget, takut
dan tidak menerima nasib yang disodorkan oleh ayahnya terhadap dia. Bahkan dari
segi pengalaman hal ini, para pembaca diajak untuk berempati dengan anak Yefta.
Namun dalam cerita ini anak Yefta seolah tidak mempunyai daya dan kuasa untuk
menentang hal tersebut. Setiap orang tidak ingin dijadikan korban atau objek
pelengkap saja, seperti yang dialami oleh anak Yefta. Anak Yefta terasa
dibelenggu oleh belenggu sistem Patriaki sehingga
dia tunduk akan apa yang ayahnya inginkan. Karena sistem legal dalam masyarakat
Patriaki menempatkan perempuan pada
posisi yang berbeda (yang tidak baik) dan tidak menguntungkan, sebelum menikah
anak perempuan harus tunduk kepada ayahnya; kalau ayahnya tidak ada maka dia
harus tunduk kepada saudaranya laki-laki bahkan setelah menikah dia harus
tunduk kepada suaminya.[20]Memang
sangat sulitlah berada dalam posisi seperti anak Yefta.
Bagian akhir dalam ayat 36 cukup unik,
secara tersirat bagian ini merupakan protes atas nasib yang diberikan Yefta
kepada anaknya. Kalau diperhatikan bagian itu berbunyi “karena TUHAN telah mengadakan bagimupembalasan
terhadap musuhmu yakni bani Amon”.
Memang terkesan kalimat ini tidaklah bermasalah, namun kalau diperhatikan
kata-kata yang dicetak agak tebal, memberikan kuncinya. Kunci itu ialah akhiran
ganti orang pertama tunggal “ku”, kata ini memberikan makna bahwa kejadian ini
turut diboncengi oleh kepentingan-kepentingan pribadi. Sehingga kalau dipahami
kalimat yang diucapkan oleh anak Yefta adalah kalimat keluhan dan gugatan atas
ketidakadilan yang dia rasakan.
Dalam uraian narasi ini, anak Yefta
tetap tegar menerima takdirnya, yang kalau boleh dikatakan itu semua adalah
kesalahan dan ambisi dari Yefta. Di mana tidak ada keseimbangan yang ada
hanyalah berat sebelah. Kebaikan dan keuntungan hanya di rasakan oleh satu
pihak, sedangkan anak Yefta mendapatkan kerugian dan kemalangan yang besar, dan
hal itu juga tanpa sepengetahuan dan seizin dari dia. Apakah TUHAN akan
menerima korban bakaran, di mana korban itu adalah manusia, bahkan secara
tersirat nazar ini bukan berasal dari TUHAN, namun berasal dari Yefta sendiri.
Dalam narasi ini ada kecenderungan bahwa sebenarnya dapatlah untuk tidak
ditunaikan, karena itu bertentangan dengan aturan-aturan yang berlaku, sebab
dalam kitab Imamat tidak menyebutkan satupun bahwa, korban yang dapat
dipersembahkan adalah manusia.[21]Apalagi
nazar itu mempunyai latar belakang agama kafir (agama padang gurun). Dari sini
sebenarnya nazar itu dapat dibatalkan namun karena, Yefta adalah seorang publik
figur yang baru saja naik daun dikalangan bangsa Israel, maka ada perasaan malu
untuk membatalkannya atau mengingkari nazarnya itu. Maklum saja, posisi yang
baik ini baru dia dapatkan, setelah sekian lama dia harus menyingkir dan tidak
diperhitungkan, namun sekaranglah waktunya pembuktian hal tersebut. Di mana
anaknya dijadikan korban demi, mempertahankan nama baiknya di hadapan tua-tua
dan bangsa Israel.
Mungkin dengan penuh berat hati, anak
Yefta mengajukan satu syarat kepada ayahnya. Syarat itu sangat jelas diuraikan
dalam ayat 37. Syarat itu adalah kesempatan bagi anak Yefta untuk bergaul
dengan teman-temannya di pegunungan dalam jangka waktu dua bulan. Bagi Yefta
ini bukanlah syarat yang sukar untuk dipenuhi, makanya dia mengiyakan syarat
tersebut. Dalam cerita kenapa harus pengununggan, tempat di mana anak Yefta
pergi bersama-sama dengan teman-temannya. Sebab di pegunungan adalah tempat
yang tenang jauh dari keramaian (dapat dijadikan tempat perenungan) dan melihat
keindahan alam.[22]
Dalam ayat 37 dan 38 ada kata yang sangat unik dimasukan dalam narasi ini, kata
itu ialah “menangisi kegadisan”. Sangat sulit untuk menentukan maksud dari kata
tersebut. “menangisi kegadisan” ini dikutip dari TB-LAI, kalau diperhatikan
kata ini sangat sulit untuk dipahami. Namun kalau kata itu dilihat dalam
BIS-LAI, maka narator dalam BIS-LAI memakai kalimat untuk menjelaskan hal itu. Kalimat
itu adalah “.......manangisi nasib saya,
sebab saya meninggal semasa masih perawan”. Hal itulah yang dijelaskan oleh
narasi ini melalui narator seperti yang ada dalam ayat 37 dan 38. TB-LAI seolah
menyamarkan, akan perasaan dari anak Yefta. Perasaan itu ialah sedih, kecewa,
marah bahkan penyesalan. Namun dalam BIS LAI hal itu terpampang jelas, bahwa
walupun anak Yefta belum mati, mereka sudah menangisi akan nasib yang menimpa
dia.
Cerita dalam BIS-LAI ayat 38
menguraikan seperti ini “.......bersedih
hati .....karena ia meninggal sebelum menikah dan menpunyai anak”.
Kesedihan yang sangat besar dirasakan oleh anak Yefta sebeb dia mati sebelum
menunaikan tugas mulia dari seorang perempuan yaitu mengandung dan melahirkan.[23]
Kehidupan dari anak Yefta terlalu singkat bahkan ada kecenderungan bahwa dia
tidak sempat menikmati kehidupan sebagai seorang anak muda, kemudaan dari anak
Yefta dicekal oleh ayahnya sendiri.Anak Yefta tidak diberikan kesempatan untuk,
menjalani hidupnya sebagaimana mestinya. Ayat 39 diuraikan oleh narator secara
mendalam di mana, waktu yang diajukan sudah habis dan tibalah saatnya nazar akan dilaksanakan.
Dalam narasi ini Yefta seolah tidak ada beban dalam melaksankan tugas ini, hal
itu secara jelas ditunjukkan oleh narator dalam narasi ini (ayat 39). Hal itu
bisa demikian sebab Yefta mempunyai pengalaman yang buruk dengan perempuan,
sebab dia diusir karena dia dilahirkan dari seorang perempuan sundal, hal
inilah yang membuat Yefta sangat sulit untuk berempati dengan posisi anak
perempuannya.[24]
Pengalamannya yang buruk menyebabkan anak Yefta dan Yefta sendiri harus
membayar mahal akan itu. Bahkan narasi terasa janggal sebab, di mana letak
seorag ibu, ketika anak semata wayannya akan dikorbankan sebagai nazar bagi
TUHAN. Namun itulah keadaannya posisi seorang ibu tidak diekspos dan
ditonjolkan dalam bagian ini, posisi seorang ibu didiamkan dan tidak diizinkan
untuk angkat bicara. Anak Yefta merupakah tumbal dari keegoisan, kesombongan,
keangkuhan dan keserakahan dari Yefta sendiri. Yefta adalah seorang hakim,
tidak dapat menjadi hakim yang adil dalam kehidupan keluarganya. Kata-katanya
bagaikan alat peledak yang setiap saat menunggu pemicu, yang ada hanyalah perasaan
berdosa dan sakit hati, yang dikarenakan ketidakadilan. Hal itu nyata ketika
emosi Yefta sudah mulai tidak terkontrol sehingga dia berperang dengan Efraim.
Bahkan kejadian ini menjadi duri dalam daging Yefta, sehingga dalam masa
pemerintahannya hanya relatif singkat di mana hanya enam tahun memerintah dan
meninggal dunia.[25]Hal
itu ada kemungkinan bahwa sebenarnya Yefta merasa sakit hati dan tertekan atas
kesalahan yang berat yang sudah dia lakukan. Hal itu terbukti dalam passal
selanjutnya (pasal 11), di cerita bahwa Yefta meninggal.
·
Penutup.
Bagian penutup dalam narasi ini
terbentang dari ayat 39b sampai 40. Cukup singkat bagian penutup, narasi ini
menuturkan bagian akhir yang tidak menyenangkan, sebab anak Yefta harus
menerima takdir yang buruk menimpa kehidupannya. Sehingga bagian ini di bukan
lagi oleh narator dengan bentang waktu, melalui kata “jadi” merupakan
penghubung akan bagian yang sebelumnya ke bagian yang selanjutnya, bahkan kata
jadi bukan saja penghubung tetapi mempunyai makna penjelasan bahwa anak Yefta
sama sekali tidak pernah mengenal laki-laki. dari sini tersirat makna bahwa
anak Yefta masih relatif muda atau masih dalam usia remaja sebab dia belum
mengenal percintaan atau pertunanganan. Selanjutnya kata “dan” digunakan oleh
narator untuk menghubungkan peristiwa itu dengan keadaan yang ada di masa yang
akan datang, seolah-olah pembaca berada dalam dua bentang waktu. Pertama berada
dalam bentang waktu zaman Yefta dan kedua bentang waktu pada saat cerita ini
dituturkan. Penulis cukup mahir, karena itu dia menyisipkan corak sastra etiologi supaya bangsa Israel terus
mengingat kejadian yang menimpa putri Yefta, kajadian itu terselip dalam adat
yang ada di bangsa Israel bahwa setiap
tahun selama 40 hari meratapi akan nasib yang menimpa anak Yefta.[26]
Kata kerja meratapi atau merayakan adalah sama dengan kata kerja yang
diterjemahkan dalam Hak 11:5 (menyanyikan). Sehingga ada kemungkinan
orang-orang yang berkunjung ditempat itu menyanyikan nyanyian untuk menginhat
anak Yefta. Namun walaupun terus dikenangkan namun kejadian ini menurut para
ahli Perjanjian Lama merupakan buku hitam dari para hakim yang mendiskriminasi
kaum perempuan, bahakn dalam buku tafsiran Perjanjian Lama mengaris bawahi
narasi ini. Supaya tidak menjadi tolok ukur dalam kehidupan umat manusia,
melainkan pembelajaran agar kejadian yang seperti ini tidak terulang lagi,
bagian akhir cerita ini memberikan pemahaman untuk melakukan transformasi agar
peristwa ini tidak terulang terus-menerus dalam kehidupan manusia.
C.2. Alur Atau Plot
Jalan cerita dalam narasi ini kalau
dicermati seolah ada dua jalan cerita. Bagian pertama (ayat 29-39a) merupakan
alur mundur, bagian kedua merupakan alur maju (ayat 39b-40) di mana bagian ini
merupakan kesimpulan dari ayat 29-39a, sebab dalam kurun waktu itu narator ada
dan menuturkan cerita tersebut. Bagian awal hanyalah merupakan penjelasan yang
menyebabkan peristiwa yang ada dalam 39b-40 ada dalam kehidupan bangsa Israel.
Berdasarkan hal itu alur yang ada dalam narasi nazar Yefta berupa alur
campuran. Di mana dalam satu cerita ada beberapa jalan ceria yang menjelasakan
cerita itu. Ayat 29-39a menguraikan peristiwa di masa lalu (para hakim), dalam
cerita itu diceritakan Yefta yang berperang melawan orang Amon dan dia bernazar
kepada Tuhan, bahwa apa saja yang menyongsong dia , sewaktu dia kembali dari medan
perang maka dia akan dikorbankan untuk TUHAN. Namun perlu digaris bawahi bahwa
nazar ini bukan atas inisiatif TUHAN ini
semua berdasarkan keinginan Yefta sendiri. Pada kahirnya Yefta memukul kalah
orang Amon hingga, mereka kalah secara besar dan tidak berdaya. Apa yang
terjadi anak perempuannyalah yang datang menyongsong dia, sebab ini adalah
tradisi.[27]
Hati Yefta menjadi sedih melihat hal demikian, namun apa yang sudah dikatakan
tidak dapat ditarik kembali. Selanjutnya cerita cepat berpindah dan menjelaskan
bahwa anak Yefta menerima takdirnya untuk dikorbankan. Dengan syarat bahwa
dalam waktu 2 bulan dia akan pergi ke pegununggan untuk menangisi nasib yang
menimpa dia. Setelah dua bulan dia kembali dan nazarpun dilaksanakan.
Perpindahan waktu di tandai kata “Jadi” dan “dan” hal itu menadahkan bahwa
peristiwa meratapi atau menyanyikan nyanyian di pegunungan selama 40 hari dala
setahun mempunyai latar belakang kehidupan di masa lalu yaitu Yefta dan anak
Yefta.
C.3. Penokohan/Karakter.
Ø Yefta: karakter Yefta dalam narasi ini
ialah pemberani, ambisius, egois hal itu ditunjukkan oleh narator dalam ayat
29-33. Bahkan sisi negatif dalam karakter Yefta ialah tidak bijaksana karena
dia tidak dapat berpikir mana yang kehendak TUHAN dan mana yang tidak
dikehendaki oleh TUHAN. Walaupun mempunyai karakter pemberani sebenarnya Yefta
mempunyai perasaan Takut hal itu secara jelas diuraikan dalam ayat 30, berupa
nazar kepada TUHAN, katakutan Yefta jangan-jangan TUHAN tidak menolong dia dan
hanya membiarkan mereka kalah. Maka usaha yang Yefta gunakan ialah membujuk
TUHAN dengan cara mengutarakan nazar
kepada TUHAN. Yefta tidak sadar bahwa TUHAN tidak perlu dibujuk, sebab Dia
bertindak sesuai dengan apa yang dia kehendaki.
Ø Anak Yefta: karakter yang ditunjukan olah
anak Yefta dalam narasi ini ialah Penurut, di mana ketika ayahnya kembali dari
peperangan dia patuh perhadap adat saat itu (ayat 34) dan patuh terhadap
pertintah dari ayahnya (36). Di tengah-tengah karakter penurut anak Yefta
mempunyai karakter yang keras, di mana dia berusaha membelah haknya sebagai
seorang manusia. Hal itu secara jelas ditunjukkan dalam ayat 36. Narator
menggungakan kata “tetapi”.[28] Kata ini menyelasakan sikap yang keras dari
anak Yefta dalam memprotes nasib yang disodorkan ayahnya kepadanya.
C.4. Konflik Atau Kontras
Konflik dalam narasi ini bermula
ketika Yefta mempunyai ambisi untuk menghancurkan bangsa Amon. Dengan penuh
kebanggaan Yefta mengutarakan nazar kepada Tuhan. Ketika orang mengutarakan
nazar kepada TUHAN maka dia akanmenyuarakannya dengan suara yang nyaring dan
penuh kebanggaan. Nazar itu cukup kontroversial sebab nazar itu berbunyi “maka apa yang keluar dari pintu rumahku
untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu
akan menjadi kepunyaan TUHAN dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban
bakaran.” Seperti itulah nazar dari Yefta, apakah Yefta lupa atau tidak
mengenai tardisi bahwa ada pesta
penyambutan bagi setiap pahlawan perang yang baru pulang dari medan pertempuran. Penyambutan yang dilakukan
ialah orang-orang terdekat dari para pahlawan. Dalam kasus ini ialah anak Yefta
sendiri.
Yefta berpikir bahwa dengan bernazar
kepada TUHAN, itu berarti dia sementara membujuk TUHAN supaya apa yang dia
cita-citakan dapat terwujudkan. Disinilah letak kesalahan dari Yefta, dia lupa
bahwa TUHAN Allah Israel bukanlah seperti demikian. Dia tidak perlu untuk
dibujuk dia melaksanakan tugasnya berdasarkan kehendaknnya, manusia hanyalah
alat yang Dia pakai untuk merealisasikan janji dan kasihnya. Pengorbanan
manusia bagi Yefta itu adalah hal biasa sebab, Yefta tidak dibesarkan di bawah
norma-norma yang berlaku di bangsa Israel. Namun Yefta banyak terpengaruh
dengan agama-agama gurun, yang memberikan persembahan dengan memberikan korban
manusia.[29]
Nazar sudah diucapakan, dan
kenyataannlah yang berbicara. Anak semata wayan dari Yefta datang menyongsong
dia dengan penuh perasaan yang senang yang dia luapkan melalui tari-tarian dan
memukul rebana sebagai tanda syukurnya karena ayahnya kembali dengan selamat
dari medan perang. Hal ini merupakan kebangan tersendiri bagi seorang anak,
ketika melihat ayahnya kembali membawa kemenangan. Namun apa yang terjadi bukan
perasaan yang sama, yang ditunjukkan oleh Yefta melainkan dia sedih bahkan
mungkin takut. Sebab apa yang dia nazarkan itu, terjadi dan anak
perempuannyalah yang harus dipersembahkan. Konflik terus menjadi besar bahkan
segi emosi turut mengambil bagian, namun itulah kenyataannya anak Yefta,
menjadi tumbal atas keangkuahan, keegoisan dari Yefat sendiri, sebenarnya hal
itu dapat dibatalkan namun karena Yefta hanya memilih nama baiknya, yang sudah
dia usahakan dalam beberapa waktu ini, maka dia harus membayar mahal yaitu
mengorbankan anaknya. Anak Yefta menjadi korban atas kekerasan hati ayahnya.
Konflik dalam narasi ini tidak menonjolkan peran dari seorang ibu, bagaimana
dia melihat anak satu-satunya akan dikorbankan. Namun dalam konflik ini sosok
seorang ibu dibungkamkan dan anak Yafta dibuat seolah-olah mengikuti apa yang
diperintahkan oleh ayahnya. Konflik agak menjadi redah di saat anak Yefta
mengajukan starat kepada ayahnya. Konflik dalam narasi ini menguraikan
penindasan terhadap perempuan, di mana sosok perempuan hanya dijadikan sebagai
pelengkap dan kalau dibutukan atau dikorbankan tidaklah apa-apa. Secara
tersirat konflik ini memebrikan makan bahwa ketidakadilan mewarani sejarah
kelam masa para hakim. Di mana mereka hanya berpihak kepada pihak yang satu,
dan siap sedia mengorbankan pihak yang lain demi keberlangsungan nama baik
mereka.
C.5. Setting.
§ Tempat: latar tempat dalam narasi ini
sangat banyak dimulai dengan daerah Gilead, Manasye, Mispa dan daerah orang
Amon (ayat 29 dan 32). Bahakn kalau mau dipersempit lagi tempat dari cerita ini
ialah rumah Yefta (ayat 34) dan pegununggan (ayat 37-38).
§ Waktu: dalam narasi ini penulis banyak
menggunakan bingkai waktu yang hanya ditandai dengan kata-kata, ada bebarapa
bagian yang secara jelas menunjukkan waktu itu sendiri seperti dalam ayat
(37-39) jangak waktu dua bulan. Sedangkan bingkai waktu yang hanya menggunakan
kata-kata ialah “lalu....” ayat 29,
“maka....” ayat 31, “Ketika......” ayat 34, “dan...... jadi.....” ayat39.
§ Suasana: narator menunjukkan susana
dalam narasi ini cukup bervareasi ada suasana yang penua amarah saat bereperang
dan keberanaian (ayat 29-33). Bahakan ada suasana yang sedih digambarkan oleh
narator dalam ayat 35 dan perasaaan yang senang dirasakan oleh anak Yefta saat
menyongsong ayahnya ayat 34. Namun suasasna yang pesimis dirassakan dalam
narasi ini, di mana ada perasaan anak Yefta yang tidak bersedia menjadi korban,
sebagai pembayaran nazar ayahnya, hal itu secara tersirat ditunjukkan dalam
ayat 36.
C.6. Gaya/Style.
Dalam narasi ini hal yang hendak
ditonjolkan ialah mengenai nazar, inti dari cerita ini ialah nazar, sehingga
narasi ini menguraikan bahwa sebanranya nazar yang diucapakan oleh Yefta
bukanlah atas kehendak TUHAN melainkan karena keinginannya sendiri. Nazar bagi
Yefta merupakan alat untuk membujuk TUHAN supaya dia dapat kemenangan yang
sementara dikejarnya. Narator dalam cerita ini cukup jelih karena dia
menguraikan dengan gaya yang cukup baik dalam penjelasan. Pendiskriminasian
perempuan memberikan tanda tersendiri, di mana perempuan atau dalam hal ini
anak Yefta menjadi tumbal dalam nazar itu. Terkesan dalam narasi ini sangat
sedikit dialog yang ada, hampir keseluruhan adalah urian dari cerita itu. Anak
Yefta menjadi objek dalam merealisasikan nazar yang sama sekali dia tidak
ketahui, korban manusia turut diberikan sorotan dalam bagian ini karena korban
manusia merupakan kekejaian bagi TUHAN, sebab kebiasaan ini berakar dari agama
Kafir. Sebnaranya nazar itu dapat dihentikan sebab, hal itu sama sekali tidak mendapatngkan
syalom melainkan hanya melahirkan
ketidakadilan terhadap perempuan yang sering dianggap sebagai barang. Sebab
manalah mungkin Yefta bernasar seperti itu tanpa memiliki dasar pemikiran yang
awal, memanglah budaya patriaki banyak mempengaruhi pemikiran dari Yefta
sendiri.
C.7. Narator
Dalam narasi ini narator banyak
mengambil peranan dibandingkan dengan karakter-karakter yang ada dalam narasi
ini (Yefta dan anak Yefta). Narator banyak menjelaskan jala cerita ini. Pada
awalnya narator mengator bahwa Yefta dihinggapi oelh Roh Tuhan sehingga dia
berjalan di beberapa daerah, pembaca diajak oleh narator untuk membayangkan
bagaimana jauhnya perjalanan yang ditempuh oleh Yefta. Secara mengejutkan para pembaca
dibawa oleh narator pada suatu adegan yang cukup unik dan tidak lazim terjadi
dalam kalangan kehidupan orang Israel saat itu. Hal itu ditunjukkan oleh
narator dalam ayat 30 melalui mulut dan suara nyaring dari Yefta, yang dimaksud
oleh narator ialah “nazar”. Nazar yang dimaksud ialah memberikan korban bakaran
kepada TUHAN, namun korban bakaran ini ada syaratnya. Korban itu ialah
“sesuatu” yang menyongsongnya ketika dia kembali dengan selamat mengalahkan
bangsa Amon. Narator sangat pelit dalam informasi pada bagian ini, sebab terasa
mengambang nazar yang dimaksud itu adalah apa? Ternyata narator sedikit memberi
celah atas apa yang hendak dinazarkan oleh Yefta, para pembaca diundang olah
narato untuk berpetualang apakah yang sebenarnya terjadi. Ternyata nazar itu
ialah memberikan korban manusia, hal itu memang perkiraan namun kalau merujuk
dengan apa yang disajikan oleh narator pada bagian sebelumnya, ini agak masuk
akal. Sebab Yefta pernah menetap di darah kerajaan Aram, di mana penduduk
setempat memeluk agama gurun, yang kalau ingin membujuk tuhan mereka, harus
memberikan persembahan korban manusia. Itu bukti yang pertama, bukti yang kedua
kalau nazar Yefta merujuk kepada manusia ialah korban hewan tidaklah sebanding
dengan apa yang akan Tuhan berikan kepadanya, yaitu seluruh orang Amon.
Sehingga Yefta berpikir juga bahwa apa yang akan dia perembahkan harus seimbang
juga.
Narator menunjukkan bahwa Yefta menang
atas pertempuran tersebut dan memporak-porandakan daerah-daerah orang Amon.
Secara mengejutkan narator menunjukkan kepada para pembaca suatu keadaan yang
genting di mana yang menyongsong Yefta adalah anak semata wayannya. Ini
merupakan tradisi yang mungkin sudah melakat dalam kehidupan dari bangsa
Israel, anak Yefta sama sekali tidak mengetahui bahwa dia sudah menjadi objek
korban untuk pembayaran nazar. Dalam bagian ini narator menyajikan bahwa anak
Yefta seolah berdiri di antara dua jalan, dia menjalani itu dan menjatuhkan
pilihannya untuk emyongsong ayahnya, sebab hati seorang anak pasti akan bersukacita
melihat ayahnya kembali dari perang dangan selamat sejahtera. Namun ketika
ayahnya melihat dia, narator secara cepat menguba suasana saat itu menjadi
sedih, sebab Yefta telah teringat akan janjinay. Beberapa rsepon ditunjukkan
oleh narator, untuk melukiskan perasaan yang sangat dalam dari Yefta,
sebanarnya Yefta dapat membatalkan nazar itu, sebab nazar itu tidak berakar
pada agama para leluhur bangsa Isarel. Yefta diperhadapakan di antara dua
pilihan memlih menyelamatkan anaknya dan menyelamatkan nama baiknya yang baru
saja pulih. Namun pilihan sudah dijatuhkan dia memilih nama baiknya dan
mengorbankan anaknya. Secara jelas diutarahkan oleh narator dalam ayat 36
dengan menggunakan kata “tetapi”. Kata ini menjelasakan bahwa sebenarnya anak Yafta tidak
setuju akan nasib yang disodorkan ayahnya kepada dia. Namun karena sisitem
patriaki saat itu sangat kuat, menyebabkan perempuan tidak memliki kebebasan
untuk memlih hidupnya, kebebasan perempuan dikebiri, sebab perempuan seringkali
diidentikan dengan barang. Sangat memperihatinkan nasib yang melanda anak
Yefta, yang merupakan jembatan ayahnya
untuk menujuh sukses kehidupan dan nama baik.
Secara berat hati, melalui kata-kata
yang coba narator tunjukkan, anak Yefta mengajukan syarat, para pembaca dibuat
tegang apakah gerangan syarat itu, apakah syarat itu dapat membeaskan anak
Yefta dari jerat ayahnya atau sebaliknay. Para pembaca dikejutkan bahwa dalam
jangka waktu 2 bulan dia dan teman-temanya akan pergi kepegunungan untuk
menangisi nasib yang menimpah dia. Narator secara cepat beralih langsung pada 2
bulan berikutnya. Sehingga apa yang dinasarkan oleh Yefta akan dilaksanakan,
dalam bagian ini narator sama sekali tidak banyak bicara atau menjelaskan
sebab, mengenai hal ini sama sekali tidak ada penjelasan, narator mempunyai
alasan bahwa ini merupakan ketimpangan atau ketidakadilan yang dirasakan oleh
perempaun, sehingga tidak patutlah untuk dipertajam, narator langsung berpindah
dari satu masa ke masa yang lain. Masa itu ialah masa yang kemudian sebab narator membawa cora sastar etiologi dalam
ayat 40.
C.8. Seni Dalam Dialog.
Dalam bagian ini, dialog sangat sediki
yang hanya terbentang dari ayat 35-38. Para tokoh diberikan kesempatan
berbicara hanya beberapa saat saja. Selanjutnay diambil alih oleh narator.
Dialog yang terjadi dalam ayat 35 hanyalah berupa perenungan dari Yefta bahwa
ada yang salah dari nazar yang sudah diutarakan. Selanjutnya dengan nada yang
agak sedih anak Yefta menjawab apa yang diutarakan oleh ayahnya. Walaupun hanya
singkat dialog dalam narasi ini, para pembaca mengerti akan jalannya cerita
dalam narasi ini.
C.9. Seni Dalam Bercerita.
Seni yang hendak ditonjolkan adalah
hal yang tidak diduga-duga sebab Yefta mengucapakn nazar kepada TUHAN, tanpa
dia ketahui apa yang kelak akan terjadi di depan sana. Seni etiologi sebab
dalam cerita ini memberikan penjelasan akan asal-usulnya perataman atau
menyanyikan nyanyian di pegunungan selama 40 hari dalam setahun. Bahkan ketika
manusia berkata, manusia harus terlebih dahulu memikirkan apa, konsekuensi dari
kata-kata yang sudah diaucpakan.
C.10. Seni Dalam Kata-Kata
Dalam bagian ini ada beberapa
kata-kata yang seolah menjadi bagian penting dalam narasi ini. Kata-kata itu
ialah nazar, kata ini menjelasakan akan suatu usaha manusia supaya apa yang dia
inginkan dapat diluluskan oleh TUHAN. Bahkan dari kata ini, anak Yefta yang
tidak bersalah turut merasakan imbasnya. Bahkan anak Yefta yang menjadi korban
utama dari hal ini, yang mempunyai latar belakang dari agama kafir. Kata
selanjutnay yaitu mengisi kegadisan yang mempunyai makna, melakukan perenungan
atau meratapi akan nasib buruk yang datang dalam kehidupan. Pegunungan juga
mempunyai makna tempat perenungan yang paling baik, ketika ada dalam
permasalahan. Serta ada kata-kata yang digunakan oleh narator untuk menujukan
bingkai waktu dalam narasi ini kata-kata itu ialah lalu, maka, ketika, jadi dan
dan.
C.11. Seni Dalam Tindakan.
Seni dalam tindakan tang muncul dalam
narasi ini ialah pararel di mana ada bagian narasi yang lain mirip seperti yang
terdapat dalam 2 raja 3:27. Bagian ini meceritakan perbuatan Mesha mengorbankan putra sulungnya,
dijadikan sebagai korban bakaran di atas pagar tembok. Perbedannya hanyala anak
Yefta perempuan dan anak Mesha laki-laki.
C.12. Pesan.
Keagungan dan kesemarakan dari hakim
Yefta ternyata mempunyai bagian yang paling gelap dalam sejarah kehidupannya.
Bagian kegelapan itu ialah rasa memliki dalam kehidupannya sangat rendah.
Bahkan dapat dikatakan Yefta tidak menghargai perempuan, apalagi dalam kasus
ini perempuan itu adalah anak kandungnya. Bahakn makna dari nama Yefta yang
lebih condong kepada perempuan tidak mewakli sikap dan tindakan dalam realitas
kehidupannya, pengalaman buruk tentang perempuan telah membutakan mata jasmani
dan hatinya. Sehingga tidak segan-segan dia mengorbankan anaknya. Narasi ini
sebenarnya memberikan transformasi/ pembaruan dalam kehidupan masyarakat
patriaki saat itu. Anak perempuan Yefta seolah menjadi pembuka jalan bagi
sekian banyak perempuan dalam memperjuangkan haknya, yaitu hak kebebasan. Sebab
dalam narasi ini segi pembebasan hendak ditonjolkan, sebab kehidupan masyarkat
yang patriaki yang mewajibkan perempuan tunduk kepada laki-laki, mendapat angin
segar. Bahwa kalau ada kewajiban-kewajiban yang diusulkan oleh laki-laki, di
mana usul itu tidak masuk akal atau mendiskriminasikan perempaun. Maka permuan
mempunyai kesempatan untuk meyuarakan isi hatinya. Permpuan bukanlah barang
yang dapat dikorbankan pada saat-saat tertentu, perempuan sama dengan laki-laki
yang diciptakan oleh Tuhan untuk maksud yang kudus, guna mewujudkan damai
sejahterah. Tidakan Yefta tidak sejalan dengan hal itu, sebenarnya Yefta
melakukan kesalahan yang sangat besar, namun untuk membenarkannya dia menutupi
hal itu dengan kedok keagamaan.
Cerita ini perlu ditelaah kembali,
sebab walaupun Yefta telah bersalah namun dalam rangkaian cerita dia tetap
ditonjolkan. Penonjolannya juga di segi yang positif, kesalahannya tidak
diekspos keluar, namun diredam dan didiamkan begitu saja, walaupun dari sini
lahir sebuah tradisi meratap. Hubungan timbal balik dalam narasi ini sama
sekali tidak ada, yang ada hanyalah keuntungan sepihak, yang mengarah kepada
Yefta. Yefta lebih mempertahankan nama baiknya dibandingkan dengan
menyelamatkan nyawa anak satu-satunya. Bahkan anak Yefta tidak mendapat
keadilan sebab dalam narasi ini anak Yefta seolah mengikuti perintah dari
ayahnya. Bahkan sosok dari seorang ibu tidak ditonjolkan, sebab walaupun
kehidupan patriaki namun kalau menyangkut nyawa pasti perasaan seorang ibu akan
melahirkan tindakan untuk menegur Yefta yang telah keliru mengambil jalan. Anak
Yefta dan ibunya sengaja dibuat mengikuti perintah Yefta, seolah mereka robot
yang dapat diperintah sesuai dengan kehendak dari si pemakai. Sebab sepanjag
sejarah kehidupan manusia tidak ada seorangpun anak yang akan bersedia untuk
dikorbankan, pasti kalau diperhadapkan dengan situasi ini akan ada
pemberontakan, pertikaian bahkan permusuhan. Sebab sudah tidak ada keseimbangan
yang memberikan dampak yang baik bagi kedua pihak. Bahkan semua ahli Perjanjian
Lama sepakat dalam buku tafsiran mereka, hal ini merupakan pembelajaran supaya
tidak akan terjadi lagi. Tindakan Yefta dapat dipertanyakan, kalau seandainya
anaknaya adalah laki-laki pasti/mungkin akan membatalkan nazar tersebut, sebab
nazar itu berlandaskan pada agama kafir. Namun karena budaya patriaki sangat
kuat maka Yefta turut terhanyut dengan keadaan itu. Perempuan janganlah
dijadikan sebagai objek pelengkap saja, namun perempuan perlu untuk dipahami
apa adanya, bukan ada apanya. M.C.B Frommel memberikan penegasan yang keras
mengenai narasi ini. Menurutnya cerita ini adalah “cerita celaka” tampaknya
Marie, mempunyai ketakutan kalau narasi ini salah dipahami oleh sebagian orang
sehingga, memberikan legitimasi pengorbanan manusia (perempuan). Sebab hal itu
dicatat dalam Alkitab, ketakuatn bahwa narasi ini digunakan untuk menjadi
senjata untuk menindas kau perempuan, ada alasan narasi ini tetap dipertahankan
dalam Alkitab dan tidak dihapus, sebab
narasi ini memberikan pelajaran baik yang dapat dipetik, walaupun kesalahan
namun memberikan pelajaran yang baru dan baik dalam kehidupan manusia. Perlu
untuk diingat juga bahwa ketika manusia melakukan kebaikan, maka pastinya akan
membuahkan kebaikan. Namun sebaliknya kalau manusia telah melakukan kesalahan
dan mengorbankan oknum yang lain, maka hasilnya juga adalah bencana dan petka.
Daftar Pustaka
Bakker F.L. Sejarah Kerajaan Allah I “Perjanjian Lama”. Jakarta: BPK Gunung Mulia,1996.
Blommendaal J. Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
Formmel Marie C.B, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu. Jakata:
BPK Gunung Mulia, 2011.
Lasor W.S, Hubbard D.A, Bush F.W. Pengantar Perjanjian Lama 1 (Taurat dan
Sejarah). Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Lembaga Biblika Indonesia. Tafsiran Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta:
Kanisius, 2002.
Karman Yonky. Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2012.
King Philip J, Stager Lawrence E. Kehidupan Orang Israel Alkitabiah. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2012.
Siahaan S.M. Ruakh Dalam Perjanjian Lama “Tinjauan Historis-Teologis Atas
Pengertiaan Roh”. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2012.
Timo Eben Nuban, Hagar dan Putri-Putrinya “Perempuan-Perempuan Tertindas Dalam
Alkitab”. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Yayasan Komunikasi Bina Kasih.Tafsiran Alkitab Masa Kini I Kejadian-Ester.
Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih, 2010.
Variezen Th.C.Agama Israel Kuno. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2001.
Referensi
LAI. Alkitab. Jakarta: LAI, 2010.
LAI. Alkitab Edisi Studi. Jakarta: LAI, 2011.
LAI. Alkitab Kabar Baik Dalam Bahasa Indonesia Sahari-Hari. Jakarta:
LAI, 1986.
Suharso, Retnoningsih Ana. Kamus Besar Bahasa Indoneis Edisi Lux. Semarang:
CV. Widya Karya, 2009.
Yayasan Komunikasi Bina Kasih. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I A-L. Jakarta:
YKBK, 2007.
Yayasan Komunikasi Bina Kasih. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z. Jakarta:
YKBK, 2007.
[1] Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid I A-L. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,
2011. Hal 41-42.
[2]Lihat
Hakim-Hakim 10:6-9.
[3]Bdk
dengan Kejadian 16:1-16 dan Kejadian 21:8-21.
[4]Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,
2011. Hal 485.
[5]F.L.
Bakker, Sejarah Kerajaan Allah I
“Perjanjian Lama”. Jakarta; BPK Gunung Mulia, 1996. Hal 443.
[6] Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,
2011. Hal 553.
[7] S.M.
Siahaan. Ruakh Dalam Perjanjian Lama
“Tinjauan Historis-Teologis Atas Pengertian Roh”. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012. Hal 21.
[8] Bdk
dengan buku S.M. Siahaan. Ruakh Dalam
Perjanjian Lama “Tinjauan Historis-Teologis Atas Pengertian Roh”. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2012. Hal 45-49.
[9] Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,
2011. Hal 89.
[10] Lihat
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,
2011. Hal 553.
[11] Th.C.
vriezen. Agama Israel Kuno. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2001. Hal 91.
[12] Th.C.
vriezen. Agama Israel Kuno. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2001. Hal 59
[13] Lembaga
Alkitab Indonesia, Tafsiran Alkitab
Perjanjian Lama. Yogyakarta:
Kanisius, 2002. Hal 262.
[14] Kemudian
menurut kamus bahasa Indonesia mempunyai arti yang datang, waktu yang akan
datang, kelak belakangan hari sesudah itu akhirnya.
[15] Lihat
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid II A-L. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,
2011. Hal 86.
[16] Marie
Claire Barth Frommel, Hati Allah Bagaikan
Hati Seorang Ibu. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011. Hal 71.
[18]
W.S.Lasor Dkk, Pengantar Perjanjian Lama
I “Taurat dan Sejarah”. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010. Hal 311.
[19] Lembaga
Alkitab Indonesia, Tafsiran Alkitab
Perjanjian Lama. Yogyakarta:
Kanisius, 2002. Hal 262.
[20] Philip
J. King, Lawrence E. Stager, Kehidupan
Orang Israel Alkitabiah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012. Hal 56.
[21] Bdk
dengan buku W.S.Lasor Dkk, Pengantar
Perjanjian Lama I “Taurat dan Sejarah”. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010.
Hal 220-221.
[22] Lihat
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid II A-L. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,
2011. Hal 350.
[23] Bdk
dengan Kejadian 1:28.
[24] Bdk
dengan Hakim-Hakim 11:1-3.
[25] Otniel
memerintah 40 tahun, Debora memeritah 40
tahun, Tola memerintah 30 tahun, Yair memerintah 20 tahun, Elon memerintah 10
tahun, Abdon memerintah 8 tahun, Ebzan memerintah 7 sedangkan Yefta hanya memerintah 6 tahun.
[26] Yayasan
Komunikasi Bina kasih, Tafsiran Alkitab
Masa Kini I Kejadian-Ester. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2010.
Hal 212-213.
[27] Lihat
Philip J. King, Lawrence E. Stager, Kehidupan
Orang Israel Alkitabiah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012. Hal 58.
[28] Kata
“tetapi” mempunyai arti kata penghubung
untuk menyatakan hal yang berlawanan atau bertentangan.
[29] Bdk
dengan buku W.S.Lasor Dkk, Pengantar
Perjanjian Lama I “Taurat dan Sejarah”. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2010.
Hal 311.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar