Rabu, 12 Maret 2014

TAFSIRAN AMSAL 3:19-20, 8:22-31 DAN AYUB PASAL 38-41. Mata Kuliah Teologi Penciptaan


Nama: Arke Steward Maindoka
Nim: 201041047
Mata Kuliah: Teologi Penciptaan
Dosen: Pdt. H. Masambe, MTh
TAFSIRAN AMSAL 3:19-20, 8:22-31 DAN AYUB PASAL 38-41.

Latar Belakang Kitab Ayub.
1.     Penulis
Penulis dari kitab Ayub sangat sulit untuk diidentifikasi, para ahli dalam Perjanjian Lama sangat sulit untuk menentukan siapa penulis dari kitab Ayub ini, yang ada hanyalah spekulasi atau dugaan-dugaan berdasarkan temuan mereka dalam meneliti kitab ini. Ada pendapat yang berkata bahwa kitab ini ditulis oleh seorang Yahudi yang setia, namun dia tidak mau terbelenggu dengan kepercayaan yang populer, khususnya dalam hal menghubungkan antara penderitaan dan dosa.[1] Hal itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Blommendaal bahwa pada umunya dalam kepercayaan orang Yahudi dan di dalam sastra Hikmat (hokmah) Yahuditerdapat konsepsi dasar bahwa Allah menghukum orang bersalah dan fasik, sehingga mereka menderita, sedangkan Allah menyayangi orang benar dan saleh.[2] W. S. Lasor dan kawan-kawan dalam buku “Pengantar Perjanjian lama II” hendak melukiskan siap,a penulis dari kitab ini. Mereka mencoba mengidentifikasinya ke dalam 7 point di antaranya:
1.     Ada kemungkinan penulis pernah mengalami penderitaan yang sama, dengan penderitaan yang di alami oleh Ayub. Sebab pengenalannya terhadap pribadi Ayub begitu jelas.
2.     Ia menemukan kelegaan dari kepedihannya dalam pertemuannya dengan Allah, yang kalau boleh diibaratkan bahwa jawaban Allah seringkali berada dalam badai (Ayub 38-41).
3.     Ia begitu memahami teknik-teknik hikmat dan tradisi, sebagaimana nyata dalam tema-tema dan cara-cara penulisannya.
4.     Penderitaannya membuat berselisih dengan pendapat hikmat tradisional.
5.     Ia adalah seorang Israel, hal itu nyata dalam pandangannya dalam kuasa Allah.
6.     Ia memilih tempat kejadian di tanah Us di luar Israel, untuk menjadi gambaran pengalaman manusia secara universal.
7.     Dia menceritakan pengalamannya untuk menguatkan teman-temannya/murid-muridnya yang akan mengalami penderitaan.[3]
Dari ketiga penjelasan di atas penulis dari kitab Ayub ini bersifat anonim, namun walaupun anonim penulis, pasti datang dari kalangan orang Israel, yang ingin merubah pola pikir masyarakat saat itu, lewat cerita Ayub.
2.     Tempat dan waktu Penulisan
Sangat sulit untuk menentukan tempat penulisan dari kitab Ayub, sebab Kisah tentang Ayub berasal dari masa sebelum bangsa Israel ada, Ayub juga disebutkan dalam Kitab Yehezkiel (14:14,20), bersama dengan Nuh, sebagai orang yang setia di zaman purba, hal itu sangat nyata dan tersurat dalam kitab Ayub, bahwa kekayaan diukur lewat jumlah ternak dan pelayan yang dimiliki oleh sesorang dan bukan uang.[4] Cerita itu terus dipelihara dari generasi kegenerasi. Dalam perampungan kitab ini, para ahli tidak sama dalam memberikan pendapat, berangkat dari hal itu diperkiraan tahun penulisan dari kitab itu antara tahun 600-300 sM.[5] Tahun itu didapatkan dengan memperhatikan setiap literatur yang ada. Sehingga boleh dikatakan bahwa kitab Ayub ini menjadi kitab masa pembuangan atau sesudah pembuangan. Bahasa yang dipakai dalam kitab ini dipengaruhi oleh bahasa Semitis Selatan.[6] Hal itu dipertegas bahwa kitab Ayub aslinya ditulis dalam bahasa Arab dan kemudian disalin ke dalam bahasa Ibrani.[7]
3.     Tujuan Penulis
Tujuan atau alamat dari kitab ini ialah bangsa Israel yang berada di masa-masa pembuangan, bahwa hal itu terjadi kepada mereka, bukan karena Allah tidak mengasihi mereka. Namun lewat hal itu Allah hendak menyadarikan mereka. Bahkan bisa jadi kitab ini ditujukan kepada bangsa Israel sesudah masa pembuangan di Babel. Lewat kitab ini bangsa Israel pada masa itu diingatkan tentang hikmat tradisional yang berlaku di masa itu. Blommendal memberikan tema dalam kitab Ayub yang berhubungan dengan  hikmat tradisional ialah “Persoalan penderitaan manusia yang saleh”. Dari itu semua bangsa Israel disadarkan bahwa apapun yang terjadi, dalam kehidupan manusia berada dalam kontrol Tuhan. Sebab ketika Tuhan menciptakan sesuatu, pasti memiliki tujuan yang membawa berkat.
4.     Uraian Tafsiran Dalam Bentuk Tematis Pasal 38-41
Corak satra hikmat dalam kelompok ini ialah bersifat spekulatif atau bersifat dialog. Menurut “Tafsir Alkitab Perjanjian Lama” Allah mengajukan pertanyaan kepada Ayub. Sehingga kalau ada pertanyaan pastinya mempunyai jawaban. Kalau diperhatikan begitu banyak tanda tanya yang ditemukan dalam bagian pasal-pasal ini. Hal itu membuktikan bahwa terjadi percakapan yang keras antara Pencipta dan Ayub. Pasal 38:4-38 hendak menguraikan tentang kemahakuasaan Tuhan Allah dalam otoritas penciptaannya, yang oleh penulis dibuat dalam bentuk yang berbeda. Otoritas penciptaan Tuhan disajikan dalam bentuk ucapan-ucapan hikamt. Dalam ayat 4-6 melukiskan pencitaan langit dan bumi, bagaikan membangun sebuah rumah. Di mana ketika membangun rumah hasrus ada. Ketelitian dan keteraturan, serta sarat dengan perhitungan dalam menimbang. Dalam hal inilah akal akan turut ambil bagian. Hal ini menandaskan bahwa Tuhan Allah Israel adalah Allah yang Maha Tahu. Bahkan apa yang manusia “puja”(pengetahuan) adalah kepunyaannya. Karena Tuhan Allah mencitai kesistematisan/keteraturan dan bukan kekacawan. Ayat 7 merupakan gambaran bahwa, betapa bersyukurnya para malaikat Tuhan, ketika mereka medapat kesempatan untuk menyaksikan kuasa penciptaan Tuhan. Hal itu juga berlaku bagi manusia. Di mana manusia adalah hasil tenunan Tuhan dalam kandunga.
Ayat 8-15 merupakan gambaran tentang kedahsyatan Tuhan, yang tidak dapat dibendung oleh siapapun. Termasuk alam, sebab alam termasuk juga dalam ciptaan Tuhan. Sehingga bagi bangsa Israel ditegur, bahwa tidak ada yang perlu untuk ditakutkan, sebab itu semua adalah hasil ciptaan Tuhan. Mengingat bangsa Isarel baru saja keluar dari pembuangan, di mana masih ada pengaruh sinkretisme agama yang terbawa. Melalui ini penulis yang mempunyai pengetahuan yang tinggi, mempertegasnya bahwa alam adalah ciptaan Tuhan. Seharusnya memberikan berkat dan bukan ketakutan. Hal yang dipertegas juga bahwa, manusia sebenarnya tidaklah ada apa-apanya kalau hendak dibandingkan dengan Tuhan (ayat 11), sebab manusia juga adalah ciptaan Tuhan. Sehingga ada batas-batas tertentu yang tidak boleh dilangar oleh manusia. Ayat 16-18 hendak menggambarkan kekeacawan purba, seperti yang dilukiskan oleh kitab Kejadian 1. Hal itu nyata dalam kata-kata samudar raya dan laut. Menurut pemikiran orang Yahudi kedua kata ini menggambarkan tentang maut. Namun hal itu dipetegas dalam bentuk ucapan hikmat, yang bersahut-sahutan, bahwa itu semua berada dalam kendali dan kuasa Tuhan. Hal itu mengukuhkan bahwa Tuhan Allah adalah penguasa alam semesta. Ayat 18 seolah bertanya kepada manusia, bahwa apakah manusia mengetahui luasnya bumi? Kata mengetahui dalam bagian ini hendak menjelaskan bahwa tidak ada yang tersembunyi di hadapan Tuhan. Semuanya diketahui oleh-Nya, hal itu memberikan pengajaran bahwa Ayub terbatas adanya, sedangkan Tuhan Allah adalah pengatur segalanya. Hal itu menyebabkan Dia tidak terbatas, sebab Dialah yang Maha Tahu.
Penulis dalam bentuk kata-kata yang puitis, namun diyakini penuh dengan penegtahuan. Menggambarkan bahwa, apa yang terjadi kepada manusia itu semua adalah atas seizin dari yang empunya hikamt yaitu Tuhan Allah Isarel. Hal itu ditunjukkan oleh penulis lewat ayat 22- 30.  Ayub hanya dapat merasakan apa yang sudah Tuhan jadikan, Ayub hanya dapat mengadahkan tangan dan terheran-heran dalam menyaksikan keagungan Tuhan. Dalam bagian ini Tuhan seolah menantang Ayub, dengan cara menguraikan kedahsyatan Tuhan lewat alam, yang terstruktur dengan baik.
Dalam ayat 31-32 ada 4 bintang yang disebutkan, pertama bintang Kartika. Bintang kartika adalah suatu gugusan bintang yang tersusun dengan rapi. Ungkapan penulis dalam bait yang pertama merupakan gambaran bahwa musim semi dan musim gugur telah tiba. Sedangkan bintang Belatik ialah suatu gugusan bintang yang membantu para pemburu. Bintang Mintakulburuj suatu gugusan bintang yang menandhakan malam akan tiba. Bintang Biduk adalah suatu gugusan bintang yang tak pernah terbenam. Penulis mengunakan gambaran ini, hendak menegaskan bahwa manusia tidak dapat memerintah Allah, sebab apa yang sudah Tuhan ciptakan semuanya sudah tersusun sebagaiman mestinya. Sekuat apapun Ayub tidak dapat menyamahi Tuhan Allah.
Dalam pasal 39 penulis banyak mencantumkan hewan-hewan dimulai dari keledai liar, lembu hutan, burung unta, kuda, burung elang dan rajawali. Hendak melukiskan bahwa mereka ada dalam perlindungan dan pengawasan Tuhan. Hewan-hewan yang penulis cantumkan bukan tanpa arti. Setiap hewan yang dicantumkan mempunayai makan yang hendak diltonjolkan oleh penulis. Ketika Tuhan menciptakan mereka berarti sudah ada yang Tuhan rencanakan bagi mereka. Jawaban Ayub kepada Tuhan, merupakan pengakuan sebagai makhluk yang hanya adalah ciptaan dari yang mencipta yaitu Tuhan Allah. Selanjutanya ada dua hewan yang maha dasyat yang dilukiskan oleh penulis yaitu kuda Nil dan Buaya, Tuhan seolah menantang Ayub dengan mengatakan. “dapatkah kamu cencocok hidungnya dan dapatkah kamu menangkapnya?” binatang itu dapat memukul dan bergoyang kesana kemari, mencoba untuk merusakan segalanya, namun hanya Tuhanlah yang dapat menjinakan mereka. Hal itu memberikan gambaran bahwa Tuhan adalah maha kuasa yang kekuasannya melampaui segala hal. Manusia tidak dapat menjadi tandingan Tuhan, sebab manusia adalah makhluk yang hina.
Didapat kesan bahwa kedua binatang yang digunakan Tuhan, tidak hanya memarahi Ayub tetapi juga, untuk menghiburnya. Kedua binatang itu adalah lambang, karikatur, dari ayub sendiri. kata “memukul dan bergoyang kian kemari” mempunyai makna kekacawan. Ayub menyamakan kelahirannya sama  dengan Lewiatan (3:8) dan dengan binatang laut (7:12). Seperti ayub duduk di atas abu (2:8), demikian juga Lewiatan tidak ada bandingannya di “dunia” (24). Dengan memandang binatang-biantang yang digambarkan oleh Tuhan. Ayub sementara dihibur oleh Tuhan. Sehingga mempunyai makan bahwa Allah tidak akan menghancurkan Ayub, tetapi sebalikanya bangga dan puas kepada Ayub.





5.     Latar belakang kitab Amsal
               Tadi telah diuraikan hikmat dalam bentuk spekulatif, sekarang ada bentuk yang lain yaitu bentuk pribahasa. Kitab Amsal adalah petunjuk untuk hidup berhasil.[8] Kitab Amsal berisi ungkapan yang penuh arti, singkat dan jelas yang meringkaskan hikmat dari pengalaman. Kitab Amsal merupakan kumpulan tulisan  dengan aneka ragam gaya dan bahsa yang berbeda-beda. Sehingga Amsal mungkin merupakan semacam perbandingan. Kitab Amsal menekankan pengertian dan ketaatan. Kedua kutub ini ialah intelektual dan etika. Dari sekian banyak gagasan disatukan dalam satu hal, yaitu tujuan dari hikmat Isarel dalam kitab Amsal yaitu pendidikan. Kitab Amsal ini berusaha menyajikan corak sastra yang unik sebab, dia berusaha menciptakan ruang pengajaran yang sangat nyaman dan mesara. Sehingga tidak jarang ditemukan seruan yang berbunyi “hai anaku dan lain-lain”. kitab ini merupakn kumpulan sehingga tidak dapat dipastikan Tahun berapa kitab ini ada, yang ada hanya perampungan yang dilakukan oleh redaktor, pada tahun 500SM, karena kitab Amsal ini sesuai dengan pengajaran kitab ulangan (D), yang mencakup cara hidup yang benar dan pegakuan mengenai kekuatan kreatif Allah yang sangat jelas dalam kehidupan bangsa Isarel. Ketika dalam pembuangan maupun dalam keluluasaan.
6.     Uraian Tafsiran Dalam Bentuk Tematis Pasal 3:19-20 Dan 8:22-31.
               Amsal 3:19-20 hendak menjelaskan bahwa kemuliaan dan keagungan hikmat di hadapan Allah. Hikmatlah/ kebijaksanaan dari Tuhanlah, diciptakan langit dan bumi. Hal ini sejalan dengan apa yang sudah diuraikan oleh kitab Ayub. Ada tiga kata yang muncul yaitu “hikmat, pengertian dan pengetahuan”. Ketiga kata ini mempunyai makna yang sangat dalam. Maknanya ialah ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi serta isinya. Itu semua berdasarkan otoritas dan kehendak-Nya. Bumi Tuhan ciptakan dengan segala keunikannya. Tuhan meletakan bumi berada di galaksi “bima sakti”, berada di orbti ke tiga dengan intensitas cahaya matahari yang pas, laut dan darat yang berimbang. Mampunyai atmosfir yang baik, mampunyai lapisan ozon yang melindungi permukaan bumi dari radikal bebas dan sinar UV yang berlebihan dan segala macam keunikan bumi yang  menjadikan bumi layak untuk dihuni oleh manusia. Itu semua adalah hasil pemikiran dan karya s Tuhan. Semuanya terstruktur dengan baik berjalan sebagaimana mestinya, batapa besar karya keagungan-Mu Tuhan.
Amsal 8:22-31 merupakan pelukisan tentang hikmat. Di mana ketika segala sesuatu hendak diciptakan hikmat sudah bersama-sama dengan Tuhan. Hkimat dijadikan sebagai alat pencipta, jadi secara tidak langsung hikmat itu terlebih dahulu ada dibandingkan dari ciptaan. Hikmat menjadi penghulu bagi dunia ini, sebab dia bersama-sama dengan Allah. “aku menjadi kesenangannya” mendak menunjukan bahwa apapun yang Tuhan lakukan itu semua dialakukan atas hikmat-Nya, termasuk disaat dia menciptakaan sesuatu dalam kehidupan manusia. Karena manusia adalah ciptaan Tuhan dan makhluk yang istimewa maka manusia juga mempunyai hikmat yang tuhan karuniakan. Sebab dalam bait yang terakhir memberikan gambaran bahwa manusia dan hikmat tidak dapat dipishakan. Hikmat yang dimaksud adlaah hikamt yang breasal dari Tuhan.
7.     Makna Teologi Bagi Pembaca Pertama
Tuhan Allah adalah Tuhan yang Maha Tahu. Apa pun yang dilakukan oleh manusia berada dalam kendalinya. Bahkan bukan hanya manusia, alam pun tidak luput dari kendalinya. Semuanya tersistematis dengan baik, sebab Tuhan mencitai keteraturan dan bukan kekwacawaan. Ayub juga disadarkan bahwa manusia tidak dapat menyaingi kuasa dari Tuhan. Sebab manusia hanyalah ciptaan Tuhan semata. Manusia mempunyai kuasa namun, kuasa itu berdasarkan dari Tuhan yang Dia percayakan kepada manusia.  Manuisa terheran-heran ketika meliah apa yang sudah Tuhan jadikan semanya tersusun dengan apik.
8.     Makna Bagi Pembaca Kedua   
Manusia dewasa ini disadarkan bahwa manusia tidak ada apa-apanya apabila dibandingkan dengan Tuhan. Kita boleh berangga diri mersakan kekuatan, kehebatan dan kekuasaan. Itu semua berdasarkan dari pengasihan semata dari Tuhan. Manusia jangan samapai lupa diri. Sebab apa yang manusia dapatkan atau kecap itu semua ada lah pemberian Tuhan. Sekaut apapun manusia tidak dapat menyamai penciptanya. Kita berada dalam kapasitas sebagai ciptaan. Sehingga dari kapasitas itu kita disadarkan jangnlah kita merusak apa yang sudah Tuhan Allah ciptakan secara sistematis, dengan mersuak ekosistem yang sudah ada. Manusia adalah makhluk mulia sehingga manusia dipakai oleh Tuhan sebagai mitra dari Tuhan dalam menjaga keberlangsungan alam ciptaan-Nya.









Daftar pustaka
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Edisi Studi. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2011.
LAI. Alkitab. Jakarta: LAI, 2010
Bergant Dianne, Karris Robert J. Tafsri Alkitab Perjanjian Lama. Surabaya: Kanesius, 2007. 
J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
Lasor. W.S, Hubbard D.A, Bush F.W, Pengantar Perjanjian Lama II (Sastra dan Nubuat). Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.

Yayasan komunikasi Bina Kasih, Tafsiran Alkitab Masa kini 2 (Ayub-Maleakhi). Jakarta: Yayasan Komunikasi Binah Kasih, 1994.

               Bergant Dianne, Karris Robert J. Tafsri Alkitab Perjanjian Lama. Surabaya: Kanesius, 2007. 


[1] Yayasan komunikasi Bina Kasih, Tafsiran Alkitab Masa kini 2 (Ayub-Maleakhi). Jakarta: Yayasan Komunikasi Binah Kasih, 1994. Hal 67.
[2] J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005. Hal 150-151
[3]  Lasor. W.S, Hubbard D.A, Bush F.W, Pengantar Perjanjian Lama II (Sastra dan Nubuat). Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007. Hal 110-111.
[4] Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Edisi Studi. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2011. Hal 815-816.
[5] Dari sekian banyak literatur tahun yang dianjurkan penulis sangat berfareasi, dimulai dengan buku Tafsiran Alkitab Masa Kini, Pengantar Kepada Perjanjian lama, Pengantar Perjanjian Lama. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini dan Alkitab Edidi Studi.
[6] J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005. Hal 150
[7] Yayasan komunikasi Bina Kasih, Tafsiran Alkitab Masa kini 2 (Ayub-Maleakhi). Jakarta: Yayasan Komunikasi Binah Kasih, 1994. Hal 68.
[8] Lasor. W.S, Hubbard D.A, Bush F.W, Pengantar Perjanjian Lama II (Sastra dan Nubuat). Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007. Hal 90.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar