SELUK BELUK DAFTAR KITAB-KITAB DI
DALAM PERJANJIAN LAMA
Oleh: Pdt. E.G. Singgih, Ph.D.
Dalam kerangka acuan edisi
ke-2 Forum Biblika, saya diminta menulis mengenai "Kanonisasi
Perjanjian Lama". Saya diharapkan membahas tentang 1) naskah-naskah
kuno yang ada dan ditemukan; 2) peran dan sumbangan penemuan naskah-naskah
Qumran sebagai naskah normatif bagi naskah-naskah yang ditemukan dan 3) proses
kanonisasi kitab Perjanjian Lama dan permasalahannya yang ada kaitannya dengan
budaya masyarakat dan kualitas naskah.
Dengan segala senang hati, saya akan membahas mengenai 3). Tetapi sehubungan
dengan 1) dan 2) saya memutuskan tidak menulis saja, dengan alasan sbb: saya
tidak melihat hubungan antara penguraian kanon dan masalah
naskah-naskah. Kanon sudah terbentuk berdasarkan naskah-naskah yang ada pada
kurun waktu tertentu di masa lalu. Sehingga jikalau kemudian ada naskah-naskah
lain yang ditemukan, paling-paling kita hanya memperbandingkan saja. Dengan
kata lain, Perjanjian Lama pada akhirnya tersusun sampai mencapai bentuk jadi
dengan daftar yang sudah tetap berdasarkan (tentu saja) naskah-naskah yang
dimiliki, tetapi tidak berdasarkan: penilaian atas kwalitas teks dari
naskah-naskah merupakan sesuatu yang baru terjadi jauh kemudian di zaman
moderen, yang diwakili oleh ilmu teks. Itulah sebabnya sebelum Perang Dunia II
kita memiliki Biblia Hebraica Kittel (BHK) yang berdasarkan Teks Masoret
yang terdapat dalam Codex Leningradensis, untuk menggantikan Teks Masoret
dari sumber-sumber sebelumnya. Penggantian ini dilakukan oleh karena
pertimbangan bahwa Teks pada Codex Leningradensis secara keseluruhan lebih baik
daripada yang lama, meskipun jelas bagi mereka yang mempelajari BHK bahwa di
situpun masih ada teks-teks yang rusak di sana sini. Akhir-akhir ini terbit Biblia
Hebraica Stuttgartensia (BHS) yang merupakan perbaikan dan penyederhanaan
(terutama dalam apparatus criticus) dari BHK. Proses penyusunan BHK dan
BHS jangan diproyeksikan ke belakang, sebagai sesuatu yang juga dijalani oleh
kitab-kitab yang membentuk Perjanjian Lama.
Dalam rangka itu saya juga tidak akan membicarakan naskah Qumran da
naskah-naskah lain dari Laut Mati (selain Qumran masih ada 6 situs lain yang
penggaliannya menghasilkan naskah-naskah: Wadi Murabba'at, Nakhal Khever,
Nakhal Se'elim, Nakhal Mahras, Khirbet Mird dan Masada), meskipun pada dirinya
sendiri hal ini tentu saja menarik untuk dibicarakan. Saya diminta untuk
membicarakan "naskah-naskah Qumran sebagai naskah yang normatif bagi
naskah-naskah yang ditemukan". Tetapi naskah-naskah Qumran dan
naskah-naskah lain dari Laut Mati tidak pernah bersifat atau dijadikan
normatif, baik oleh para pakar ilmu teks maupun oleh pihak gereja! Memang
ketika penemuan di Qumran pada 1948 mulai tersebar, banyak orang yang gempar
dan menaruh harapan-harapan tertentu. Yang berasal dari kalangan Kristen
fundamentalis mengharapkan bahwa teks-teks Qumran ini adalah "teks asli"
yang akan membuktikan sifat supernatural dari Alkitab, yang ternyata
"cocok" dengan teks asli tersebut. Sedangkan kalangan fundamentalis
dari luar agama Kristen mengharapkan bahwa teks-teks Qumran adalah "teks
asli" yang akan membuktikan bahwa Alkitab orang Kristen iktu telah
dipalsukan! Tetapi harapan-harapan ini pada akhirnya merupakan "wishful
thingking", oleh karena teks-teks Laut Mati (termasuk Qumran) memberi
informasi kepada kita mengenai sebuah sekte Yunani yang tidak ada sangkut
pautnya dengan agama Kristen. Paling banyak yang dapat dikatakan adalah bahwa
penemuan di atas menambah wawasan kita mengenai Yohanes Pembaptis, yang
diperkirakan mempunyai hubungan dengan kaum Esene. Di penggalian-penggalian
tersebut ditemukan juga salinan-salinan dari beberapa kitab Perjanjian
Lama. Setelah salinan-salinan ini diterbitkan maka para penafsir dan penerjemah
harus mempertimbangkannya, apalagi sudah termuat di dalam apparatus criticus.
Tetapi mereka tidak akan mengoreksi naskah-naskah yang sudah ada berdasarkan
salinan-salinan dari Laut Mati ini! Apalagi akhir-akhir ini setelah diketahui
bahwa dalam menyalin seringkali warga Qumran juga sudah sekaligus menafsir
teks-teks Perjanjian Lama ini menurut "kaca mata sectarian" mereka.1)
Jadi meskipun sudah ada variant dari Qumran (dengan kode "Q"), pada
akhirnya penafsir atau penerjemah yang menentukan mau menggunakan kemungkinan
mana apabila teks yang ada kurang "berbunyi".
Oleh karena Perjanjian Lama sudah merupakan bentuk jadi dengan daftar yang
tetap (kanon), maka pertanyaan naskah mana yang normatif merupakan pertanyaan
yang keliru. Mengapa keliru? Karena Perjanjian Lama (dan begitu juga seluruh
Alkitab) tidak merupakan suatu buku atau satu naskah yang dinyatakan atau
diwahyukan menurut model "kitab yang turun dari surga" seperti
yang dipahami oleh kalangan tertentu. Alkitab diilhami oleh Roh Kudus,
tetapi dinyatakan dalam sebuah proses yang terjadi dalam sejarah kehidupan
manusia dan merupakan perekaman dari pertemuan orang beriman di masa lalu
dengan Tuhan. Kita di masa kini merefer ke Alkitab dalam rangka menghayati
pertemuan kita dengan Tuhan pada masa kini. Dalam rangka itu Alkitab menjadi
normatif bagi kita. Tetapi itu tidak berarti kenormatifan Alkitab
ditentukan oleh naskah-naskah. Akhirnya, bagi orang Kristen bukan kitab yang
turun dari surga untuk keselamatan dunia ini, melainkan Yesus Kristus, Firman
yang telah menjadi daging (manusia). Janganlah prosedur penyataan ini dibalik
lagi menjadi "daging menjadi firman (yaitu Alkitab yang sekarang kita
miliki)", sebab membalik prosedur penyataan berarti menolak
penyataan (pewahyuan) itu sendiri. Orang Kristen memiliki Alkitab yang dipercayai
sebagai diilhami oleh Roh Kudus dan karena itu memiliki kewibawaan besar.
Tetapi agama Kristen sedalam-dalamnya tidak dapat digolongkan ke dalam
"agama kitab", oleh karena wibawa Tuhan Yesus masih jauh lebih besar
dari pada wibawa kitab dan itu tertulis di dalam kitab sendiri! Contohnya di
dalam Perjanjian Lama ada penentuan mengenai binatang yang haram dan yang
halal. Tetapi oleh karena dalam Perjanjian Baru Yesus menyatakan bahwa
"semua makanan halal" (Mrk. 7:19) maka meskipun dalam Perjanjian Lama
anjing dan babi adalah haram, orang Kristen dengan tenang makan anjing dan babi
dalam kehidupan sehari-harinya (kecuali, tentu saja, kaum Advent).
Tinjauan Daftar Isi Kitab
Suci Perjanjian Lama
Dalam buku J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama2),
bab I bagian Pendahuluan, terdapat keterangan mengenai daftar kitab-kitab
Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani dan bahasa Indonesia. Orang Yahudi membagi
apa yang kita sebut "Perjanjian Lama" atas tiga bagian, yaitu Taurat
(Tora), Nabi-nabi (Nevi'im) dan Kitab-kitab/tulisan-tulisan (Ketuvim).
Kebiasaan menyingkat juga dikenal di kalangan mereka, maka Tora, Nevi'im dan
Ketuvim disingkat TNK. Sebutannya menjadi "Tenak".
Tora berisi Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan. Nevi'im terbagi
dua: a) nabi-nabi terdahulu yaitu Yosua, Hakim-hakim, I-II Samuel, I-II
Raja-raja, dan b) nabi-nabi yang kemudian yaitu Yesaya, Yeremia dan Yehezkiel
sebagai nabi-nabi "kecil". Sedangkan Ketuvim berisi Mazmur, Ayub,
Amsal, Rut, Kidung Agung, Pengkhotbah, Ratapan, Ester, Daniel, Ezra, Nehemia,
I-II Tawarikh.
Dalam terjemahan Indonesia pembagian yang diikuti adalah demikian: mula-mula
tedapat kitab-kitab sejarah, yaitu Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan,
Ulangan, Yosua, Hakim-hakim, Rut, I-II Samuel, I-II Raja-raja, I-II Tawarikh,
Ezra, Nehemia dan Ester. Kemudian menyusul buku-buku Pengajaran, yaitu Ayub,
Mazmur, Amsal, Pengkhotbah dan Kidung Agung. Lalu akhirnya buku-buku nabi-nabi,
yaitu Yesaya, Yeremia, Ratapan, Yehezkiel, Daniel, Hosea, Joel, Amos, Obaja,
Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia dan Maleakhi. Pembagian
ini tidak sesuai dengan pembagian di dalam Tenak. Di dalam Tenak kitab-kitab
Yosua sampai dengan Raja-raja dianggap termasuk Nevi'im, sebagai nabi-nabi
terdahulu. Daniel yang di dalam terjemahan Indonesia termasuk nabi-nabi, di
dalam Tenak termasuk Ketuvim. Dalam terjemahan Indonesia kitab Rut
ditempatkan sesudah Hakim-hakim sebab Elimelekh dan kedua anaknya hidup di masa
para Hakim. Kitab Ratapan termasuk dalam nabi-nabi, sebab menurut tradisi,
Ratapan ditulis oleh Yeremia. Padahal di dalam Tenak, Rut dan Ratapan termasuk
Ketuvim.3)
Ketidaksesuaian antara daftar
isi Tenak dan terjemahan Indonesia memperlihatkan bahwa sebenarnya daftar isi
Tenak tidak dianggap sebagai normatif. Saya setuju dengan pendapat ini,
meskipun ditinjau dari segi penelitian histories, kitab Daniel memang tidak
bisa ditempatkan di dalam Nevi'im oleh karena sifatnya yang apokaliptik.
Blommendaal tidak memberi keterangan apakah pertimbangan-pertimbangan mengenai
daftar isi di atas berasal dari LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) ataukah LAI
mengikuti saja kebiasaan dari terjemahan-terjemahan Alkitab di dunia Barat.
Tetapi pemeriksaan selayang pandang saja dari misalnya RSV (Revised Standard
Version) memperlihatkan bagian yang sama. Dengan adanya pembagian semacam ini
berarti kita tidak mengikuti urutan prioritas orang Yahudi, yang menempatkan
Tora sebagai yang pertama oleh karena paling utama, kemudian menyusul Nevi'im
dan Ketuvim. Kita mengakui prioritas Tora, buktinya urutan Tora tidak
diganggu-gugat. Tentu kita merasa aneh bila Kejadian yang mulai dengan
penciptaan ditempatkan sesudah Keluaran, meskipun kalangan-kalangan tertentu
yang menekankan pada sejarah dalam praktek berteologi lebih mengandalkan pada
Keluaran dari pada Kejadian. Tetapi mengenai Nevi'im dan Ketuvim nampaknya ada
kebebasan dalam menentukan sendiri bagaimana "memperbaiki" urutannya.
Meskipun prioritas Tora tidak diganggu-gugat, belum juga berarti bahwa dalam
praktek kita mengandalkan pada Tora. Kalangan Protestan yang berasal dari
tradisi Lutheran yang mempertentangkan Hukum dan Injil biasanya lebih
menekankan penghayatan terhadap nabi-nabi, dibandingkan dengan kalangan
Protestan yang berasal dari tradisi Calvinis, yang melihat Hukum sebagai
"pagar" bagi Injil.
Pengamatan terhadap daftar isi yang berbeda ini paling tidak akan menghapus
anggapan bahwa kitab-kitab di dalam Perjanjian Lama "diturunkan"
menurut suatu urutan yang memang sudah "dari sono"nya demikian. Kalau
hanya mengenai soal daftar isi saja mungkin tidak akan ada yang mempersoalkan,
meskipun urutan tidak sama. Yang penting jumlahnya, tidak dikurangi
ataupun ditambahi. Padahal ketidaksamaan dalam daftar urutan menurut saya sudah
memperhatikan paling tidak dua hal: bahwa ada kebebasan dalam menyusun
berdasarkan pertimbangan tertentu (di atas pertimbangan sejarah) dan yang kedua
mengikuti yang pertama yaitu ketidaknormatifan suatu daftar. Sehingga mestinya
dipertanyakan apakah sebenarnya kanon memang berarti suatu daftar yang normatif
ataukah daftar tetap?.
Makna Kanon Dan Dampaknya
Dalam buku-buku Pembimbing atau Pengantar Perjanjian Lama kata
"kanon" umumnya diartikan "ukuran, standard". Nampaknya
tanpa menyadari bahwa pengertian ini diambil dari Perjanjian Baru! Di dalam
Perjanjian Baru kanoon memang berarti demikian, namun yang sering
dilupakan adalah kenyataan bahwa konteks penggunaan kata ini tidak
bersangkut-paut sama sekali dengan ukuran atau standard yang berlaku bagi
kitab-kitab atau surat-surat yang dianggap suci.4)
Kata "kanon" yang dipergunakan dalam rangka pembicaraan mengenai
daftar isi Kitab Suci sebetulnya berada dalam lapangan semantik lain dari kanoon
seperti dalam Perjanjian Baru. Dalam bahasa Yunani di luar Perjanjian Baru, kanoon
berarti daftar, "lis" atau yang semacam itu. Sama halnya dengan
mengatakan bahwa seorang telah "dikanonisasikan" dalam tradisi gereja
Roma Katolik. "Dikanonisasikan" berarti bahwa nama orang tersebut
telah masuk dalam daftar orang-orang kudus.5)
Belum lagi masalah bahwa Perjanjian Lama tidak mengenal istilah yang berpadanan
dengan kanoon, baik seperti di dalam Perjanjian Baru maupun seperti di
luar Perjanjian Baru. Para rabbi Yahudi memang berbicara mengenai buku-buku
"yang membuat tangan menjadi najis" pada pertemuan di Jamnia pada
tahun 100 M, tetapi ungkapan ini tidak bersangkut-paut dengan kanonisasi
seperti diperkirakan sebelumnya, melainkan bersangkut-paut dengan dampak
ritual. Orang yang telah menyentuh buku-buku tersebut perlu membersihkan diri
secara ritual sebelum melakukan pekerjaan lainnya. Jadi masalahnya bukanlah
mengenai buku mana yang dianggap layak masuk kanon atau tidak, melainkan buku
mana yang berdampak ritual dan mana yang tidak. Pertemuan yang diadakan di
Jamnia pada abad ke-1 M, sebenarnya bukan "sinode" yang menetapkan
kanon Perjanjian Lama, melainkan pertemuan untuk menentukan dampak ritual dari
kitab-kitab seperti misalnya Kidung Agung dan Pengkhotbah.
Kalau begitu bagaimanakah prosesnya sehingga kitab-kitab Perjanjian Lama
terjadi seperti pada Tenak? Yang jelas adalah bahwa mula-mula Tora terbentuk,
setelah bagian kitab Ulangan diselipkan masuk di antara Bilangan dan Yosua.
Mazhab Ulangan yang melakukan penyelipan ini memang sangat menekankan bahwa
"hukum ini" dan "kitab Tora ini" menentukan, sehingga harus
dipelajari sehari-hari oleh raja-raja (Ul. 17:18 dst.). Dapat dikatakan pada
abad ke-5 sM Tora sudah diterima sebagai otoritatif. Nevi'im dulu menjadi
masalah. Kaum Samaria yang terpisah dari kaum Yahudi hanya mengakui Tora, yang
lain tidak. Dulu faktor ini menimbulkan kesimpulan bahwa Nevi'im terbentuk
sebagai Kanon hanya sesudah kaum Samaria terpisah dari kaum Yahudi. Tetapi
sekarang argumentasi berjalan ke arah yang berlawanan. Semangat mengutamakan
Tora di kalangan Samaria ternyata lebih hebat lagi dari pada di kaum Yahudi,
sehingga kaum Samaria yang tadinya menerima Nevi'im, sekarang
men"drop" bagian itu. Itu berarti sebenarnya jarak antara penyusunan
Tora dan Nevi'im tidaklah terlalu jauh. Setelah Tora terbentuk, maka semua kitab
lain dapat digolongankan ke dalam Nevi'im, seperti kita lihat dalam pembagian
Tenak. Mengenai Ketuvim jelas bahwa sejak semula posisinya menempati prioritas
ketiga. Kalau mengingat bahwa pertemuan Jamnia di atas bukan dalam rangka
penetapan kanon, maka kita tidak bisa berargumentasi seperti biasanya bahwa
kitab Pengkhotbah dan Kidung Agung lama diragu-ragukan derajat kanonnya sampai
abad ke-1 M. dengan alasan bahwa isi kitab Pengkhotbah sangat skeptis dan isi
Kitab Kidung Agung mengarah ke perkelaminan. Bagi orang Yahudi skeptisisme dan
perkelaminan tidak berada di luar kerangka iman. Sejak dulu Ketuvim sebagai
bacaan suci di samping Tora dan Nevi'im, Cuma dalam prioritas yang berbeda.
Kanon, Apokrip Dan
Pseudoepigrafa
Karena daftar isi Perjanjian Lama terjemahan bahasa Yunani (Septuaginta)
berbeda dari daftar isi Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani, banyak orang di
masa lalu beranggapan bawa di zaman kuno terdapat dua kanon, yaitu kanon
Palestina dalam bahasa Ibrani (sebagian kecil Aram) dan kanon Aleksandria
(Mesir) dalam bahasa Yunani yang daftarnya lebih panjang. Karena kita
berpendapat bahwa sebuah kanon pada hakikatnya memuat satu daftar yang tetap,
maka adanya dua daftar yang tidak sama menunjuk pada adanya dua kanon! Tetapi
kesimpulan ini sebenarnya terjadi dengan memasukkan asumsi kita ke belakang, ke
suatu kenyatan historis yang tidak cocok dengan asumsi kita. Adanya dua
daftar yang berbeda justru menunjukkan bahwa paham "kanon" asing bagi
orang Yahudi di zaman kuno. Fakta adalah bahwa orang di Palestina membaca Tenak
yang daftar kitabnya lebih pendek dari Septuaginta.6)
Jauh di kemudian hari setelah Reformasi, kaum Protestan yang telah memisahkan
diri dari gereja Roma Katolik memilih untuk mengikuti daftar Tenak dari pada
daftar yang ada di Septuaginta, yang kemudian diambil alih oleh Vulgata
(terjemahan Latin yang resmi merupakan Kitab Suci bagi gereja Roma Katolik). Alasannya
bisa teologis namun bisa juga praktis saja, misalnya supaya nampak lain dari
Katolik. Pada waktu permulaan Reformasi belum dalam semua hal jelas perbedaan
antara Protestan dan Katolik, tetapi kemudian timbul kecenderungan untuk
membedakan diri secara tegas dan tajam, terutama dalam soal Kitab Suci. Oleh
kaum Protestan kitab-kitab di luar Tenak dianggap "tidak
kanonis"alias "apokrip". Itu berarti tidak diilhami oleh Roh
Kudus. Gereja Katolik tidak beranggapan demikian, namun tidak juga memberi
derajat yang sama pada kitab-kitab di luar Tenak. Oleh karena itu apa yang oleh
kaum Protestan disebut "apokrip" oleh gereja Katolik disebut
"deuterokanonika". Masih ada lagi sekelompok buku yang oleh kaum
Protestan disebut "pseudoepigrafa", tetapi justru oleh kaum
Katolik disebut "apokrip"!7)
Oleh karena kitab-kitab di luar Tenak dianggap sebagai tidak diilhami oleh Roh
Kudus, maka daftar tetap dari kitab-kitab di dalam Alkitab bagi orang Protestan
menjadi sesuatu yang menentukan. Kitab Enokh yang termasuk pseudoepigrafa dan
kitab Daniel dua-duanya bersifat apokaliptik. Tetapi kitab Daniel yang menjadi
pusat perhatian religius sedangkan kitab Enokh paling-paling dianggap sebagai
bacaan biasa saja, yang tidak membangun iman karena bukan "Firman
Allah". Belum lagi masalah bahwa kitab Enokh dikutip dalam Perjanjian
Baru!8)
Ditinjjau dari segi teologis sebenarnya perbedaan teologis antara kitab-kitab
"kanonis" dan "apokrip" tidaklah terlalu besar. Perbedaan
ajaran Katolik dan Protestan tidak dapat dicari dengan mengusut sumber ajaran
Katolik pada "apokrip" sedangkan sumber Protestan pada
"kanon". Perbedaan itu mestinya dicari pada berbagai faktor di luar
Kitab Suci Perjanjian Lama.
Apakah dengan demikian saya mengusulkan agar kaum Protestan menerima
"apokrip" sebagai "kanonis"? Sama sekali tidak. Saya
menghargai tradisi yang memberikan saya daftar sebagaimana yang ada dalam kitab
suci Perjanjian Lama Protestan. Dari segi teologis dan praktis daftar yang
lebih pendek sudah mengandung kecukupan. Kecukupan secara teologis berarti
bahwa dalam daftar yang lebih pendek sudah cukup bahan bagi saya untuk mengenal
Tuhan, Allah Israel, tidak perlu ditambah lagi. Hal yang sama juga
berlaku bagi Perjanjian Baru. Meskipun di dalam Injil Yohanes (Yoh. 21:25)
dikatakan bahwa masih banyak hal yang diperbuat Yesus, tapi belum dicatat dalam
Injil tersebut, apa yang sudah dicatat sudah cukup untuk membangun kepercayaan.
Kecukupan secara praktis berarti Alkitab tidak akan bertambah tebal dan karena
itu tidak bertambah mahal!
Saya juga tetap mengakui bahwa Alkitab dengan daftar yang tetap menurut versi
Protestan adalah "firman Allah". Tetapi dengan mempelajari sejarah
terbentuknya daftar isi kitab-kitab suci dalam pelbagai tradisi mulai dari kaum
Yahudi sampai ke tradisi gereja-gereja, saya belajar untuk menghargai apa yang
oleh orang lain dianggap sebagai "firman Allah". Kalau dulunya orang
barargumentasi secara antagonistic: punyaku firman Allah, punyamu bukan! Tetapi
sekarang orang dapat dengan tenang mengakui bahwa punyanya adalah firman Allah
tanpa jatuh baik ke dalam absolutisme maupun relativisme, yaitu dalam menahan
penilaian terhadap apa yang diakui oleh saudara-saudara kita yang lain.
"Menahan penilaian" (to suspend judgment) merupakan suatu usaha
positif ke arah oikumenisme yang benar, yang memberi tempat pada kepelbagaian.
Pada hakikatnya daftar isi dari Alkitab menunjuk pada kepelbagaian. Penghayatan
iman yang berjalan berabad-abad memperlihatkan kekayaan berupa
kepelbagaian. Tentu ada unsur yang menjadi benang merah, yang menyebabkan
sekian banyak kitab-kitab dapat terkumpul menjadi apa yang sekarang kita sebut
Alkitab. Tetapi sekaligus juga kita harus terbuka untuk menghayati kekayaannya.
Dulu "kanonis" berati "satu ajaran" atau "satu
teologi". Sekarang "kanoni" lebih banyak berarti "satu
iman" tetapi "banyak ajaran". Tentu orang akan mempertanyakan:
kalau begitu pegangan kita apa? Ya, jelas bukan? Yesus Kristus yang diberitakan
oleh Alkitab. Karena kita berbicara dalam konteks Perjanjian Lama maka kalau
ditanyakan pegangan kita apa? Jawabannya adalah Tuhan, Allah Israel yang
bertindak menciptakan dunia ini, menyelamatkan umat Israel dari penindasan,
menjadi sasaran bagi ibadah umat, menjadi pendorong bagi para nabi untuk
membongkar ketidakadilan dan menjadi inspirasi bagi kaum berhikmat untuk hidup-
bijaksana di dunia yang penuh dengan liku-liku ini. Apa lagi yang masih kurang?9)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar