Ex Nihilo Nihil
Fit Sebuah
Tafsiran Kejadian 1:1-3.
A. Pendahuluan.
Ketiga
ayat di dalam Kejadian 1:1-3 telah
menyibukan banyak penafsir mulai dari zaman para rabi Yahudi sampai kepada para
penafsir moderen dan postmoderen. Bagi teologi kristiani
tradisional-konvensional yang amat mengutamakan kedaulatan Allah sebagai
pencipta alam semesta dan segala sesuatu, hanya ada satu kemungkinan di dalam
menafsirkan perikop ini, yaitu menafsirkannya di dalam kerangka prinsip creatio ex nihilo yaitu penciptaan dari
ketiadaan, untuk memperlihatkan bahwa Allah amat berkuasa di dalam menciptakan
dan tidak memerlukan bahan mentah atau bahan dasar apa pun dalam sabda dan
tindakan penciptaannya. Ciptaan adalah sebuah tindakan yang dengan sengaja dan
terencana dilakukan oleh Allah dengan tujuan tertentu, sehingga kosmos bukanlah
sesuatu kebetulan saja di dalam kegiatan ilahi ataupun emanasi yang mengalir
secara otomatis dari yang ilahi. Lempp menjelaskan arti kata “menciptakan”
dalam ayat 1 sebagai “.....menciptakan (meng-ada-kan) dunia daripada yang
tidak”. Ketika Lempp sampai ke ayat 2, ia mengatakan bahwa ayat 2 bertentangan
dengan ayat 1. Bagaimanakah mungkin bumi ada dalam keadaan “belum berbentuk dan
kosong”. Langit dan bumi ciptaan Allah tidak terjadi dengan sendirinya
melainkan memerlukan tindakan-tindakan pemberesan dan penyusunan dari Allah.
Dunia beraturan ini adalah akibat dari penciptaan yang terus-menerus berkembang
(creatio continua). Andaikata Allah
tidak mengatur dunia seperti ini, maka dunia akan jatuh kembali ke dalam
keadaan campur baur (kaos). Di satu sisi Lempp mengatakan bahwa dunia yang
sudah diciptakan itu masih belum teratur (masih campur baur, berati masih
berupa kaos) dan karena itu masih memerlukan tindakan penciptaan Allah yang
berkesinambungan. Ada dua hal yang hendak dikemukakan oleh Lempp, yaitu Allah
mula-mula menciptakan kaos yang berupa ketidakteraturan dan kemudian Allah
menangani ketidakteraturan itu sehingga menjadi teratur. Tetapi, di pihak lain
ia juga mengatakan bahwa penciptaan yang baik dan beres (jadi sejak pertama
sudah teratur) itu selalu diancam oleh kaos. Apa alasan Lempp memberikan dua
penjelasan yang berbeda?
Di
dalam kata pengantar dari setiap jilid tafsirannya Lempp selalu mengakui bahwa
dia menyadur buku tafsir Kejadian karangan Gerhard Von Rad. Dalam pengantar
tafsir kejadian 1:1-2:4a, von Rad menekankan bahwa teks itu berisi doktrin kaum
imam yang kandungan teologinya jelas sekali. Jadi tidak seperti Lempp, von Rad
menolak bahwa pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi yang berbeda dalam
keadaan kaos. Namu di lain pihak, di dalam teks ada kata “bara” “menciptakan” yang menurut von Rad mengandung makna creatio ex nihilo. meskipun von Rad mengakui bahwa di dalam teks ada uraian
mengenai kaos, uraian itu merupakan sebuah spekulasi teologi yang mendalam,
yang mencoba melihat kebelakang, melampau ciptaan. Jadi tidak hanya ada rujukan
mengenai ketiadaan dan ciptaan, tetapi juga mengenai kaos dan kosmos. Von Rad
juga bersedia untuk menerima tafsiran alternatif dari ruakh elohim yang oleh yang lain diterjemahkan sebagai “angin
besar”. Itu berarti ruakh elohim pun
adalah bagian dari kaos dan bukan dari Allah. Namun menurut Lempp, von Rad juga
menerima ruakh elohim sebagai Roh
Allah. Dapat disimpulkan bahwa garis
besar Lempp mengikuti von Rad. Di antaranya di satu pihak menerima prinsip
teologis cratio ex nihilo dalam
bacaan teks Kejadian 1:1-3, namun serius untuk menyadari keberadaan teks yang
ada menyebut mengenai unsur-unsur kaos. Kalau begitu kaos itu apa secara
ontologis? Kedua-duanya tidak menyebut Karl Barth, raksasa teologi dari Jerman.
Ada dugaan bahwa kedua tafsiran dari Lempp dan von Rad dipengaruhi oleh teologi
Barth, hal itu didasarkan bahwa uraian von Rad dan Lempp mengenai kaos sebagai
hasil kecurigaan manusia bahwa dibalik ciptaan ada jurang kekacaubalauan dan
bahwa kaos adalah ancaman terhadap ciptaan. Maka iman akan penciptaan harus
tahan akan ini. Barth menguraikan mengenai sesuatu yang berada di luar Allah
dan melawan Allah, tetapi tetap tunduk di bawah Allah. Sesuatu ini bukan
ciptaan dan karena itu tidak dapat dikatakan “ada”. Barth menyebutnya Das nichtige, yang diterjemahkan kedalam
bahasa Inggris “nothingness” dalam
bahasa Indonesia “ketiadaan”. Namun ketiadaan ini bukannya “tidak ada” dalam
pengertiaan yang biasa, melainkan merupakan sesuatu yang berwujud. Pemahaman
tentang Barth mengenai hal ini Allah “menciptakan ruang” bagi ciptaan-Nya
dengan jalan mengosongkan ruangan
yang tadinya di isi oleh-Nya. Ruangan yang “dikosongkan” ini ada ketiadaan,
yang diidentikan dengan apa yang bukan Allah. Menurutnya “yang kosong” ini
adalah kaos seperti yang terdapat di dalam teks Kejadian 1:2, yang dapat
dianggap sebagai sumber kejahatan. Des
nichtige bukan ciptaan Tuhan. Paling banyak kita hanya dapat mengatakan
bahwa ketiadaan merupakan “produk sampingan” dari pengadaan ruang bagi ciptaan,
namun produk ini tidak dikehendaki Allah dan merupakan lawan dari Allah. Kaos
meupakan negasi dari ciptaan.
B. Siapa Bilang Ada Kaos? David Toshio
Tsumura dan Elan Van Wolde.
Menurut
Toshio Tsumura, seorang pakar bahasa-bahasa kuno Asia Barat-Daya kuno, semua
unsur alam di dalam Kejadian 1-2 dan Kejadian 7-8 tidak ada kaitannya dengan
kaos. Asumsinya bahwa di dalam Kejadian 1-3 ada kaos tetapi tidak dapat
dibuktikan dalam ilmu linguistik dan andaikata mereka mencari dukungan dari
sastra kuno PL pun jelas bahwa sastra kuno tidak merujuk kepada kaos. Dari
sudut tafsir narasi juga ada pandangan yang baru yang tidak melihat petunjuk
bahwa teksnya bisa mengandaikan kaos. Pendapat Tsumura dan van Wolde ini tidak
dapat dipertahankan. Tradisi kristiani tradisional-konvensional yang mengasumsi
bahwa prinsip creatio ex nihilo
merupakan pemahaman yang amat dominan dalam konteks indonesia, maka disajikan
beberapa alternatif salah satunya yang telah dikemukakan oleh Gerrit Singgih.
C. Tafsiran Kejadian 1:1-3
Ayat 1: beresyit bara elohim et hasyamayim we et ha’arets.
Ayat 2:wehe’arets
hayetah tohu wabohu wkhosyek al penei tehom weruakh elohim merakhefet al penei
hamayim.
Ayat 3: wayomer elohim yehi or wayehi or.
Terjemahan.
Ayat 1: semula, ketika Allah menciptakan
langit dan bumi,
Ayat 2: bumi itu tadinya padang gurun
belantara, (dan) gelap gulita di atas permukaan samudera raya. Namun kemudian
roh Allah melayang-layang di atas muka air.
Ayat 3: dan Allah berkata; “biarlah ada
terang” lalu terjadilah terang.
· Tafsirannya.
Terjemahan
ayat 1-3 berbeda dari 2 terjemahan Alkitab dalam bahasa Indonesia, yaitu TB-LAI
dan BIS-LAI. Terjemahaan yang mirip dengan Singgih adalah BIS-LAI. TB-LAI
memisahkan ayat 1 dari kedua ayat yang lain, dengan jalan memahaminya sebagai statement umum mengenai penciptaan.
Menurut Robert Davidson ada tiga kemungkinan untuk memahami ayat-ayat ini:
ü Menganggap ayat 1 sebagai kalimat independen yang merupakan sebuah
pernyataan teologis dan pernyataan ini tidak berhubungan denga ayat 2 dan 3.
ü Menganggap ayat 1 sebagau klausa temporal.
ü Setelah Ayat 1 dilihat sebagai klausa temporal, seluruh ayat dua dapat
dilihat sebagai anak kalimat yang menerangkan tentang kaos.
Menurut
Davidson, ketiga kemungkinan menerjemahkan ini sah secara linguistik. Tetapi,
dilihat dari konteksnya, Davidson dan banyak penafsir lain memilih kemungkinan
yang pertama. Alasanya adalah bahwa Kejadian 1:1-2:4a merupakan sebuah tulisan
teologis yang secara tegas mau menyatakan atau memproklamasikan bahwa Allah itu
adalah Allah pencipta yang telah menciptakan langit dan bumi. Kemungkinan kedua
dan ketiga dapat diterima oleh karena ada pararel dengan kisah penciptaan
Mesopotamia Enuma Elish yang dimulai
dengan klausa temporel. Tetapu menurut Davidson, justru teks Kejadian 1:1-2:4a
merupakan “counterstatement” terhadap
beberapa prseuposisi yang terdapat dalam kisah-kisah semacam itu. Salah
satunnya adalah asumsi penciptaan terjadi karena konflik. Tetapi dalam bagian
ini sama sekali tidak menyajikan konflik. Sepintas lalu karangan Davidson yang
kedua dan ketiga tampaknya tidak berbeda secara esensial. Tetapai, sebenarnya
Davidson berasumsi bahwa kemungkinan adanya kaos sebelum penciptaan dan kaos
ini mengikuti kemungkinan pertama tidak menerima adanya, kaos, tetapi Davidson
sebagai salah satu pengikut kemungkinan yang pertama yaitu menerimanya. Maka
penjelasannya mengenai kemungkinan 2 dan 3 yang tampaknya dekat atau hampir
sama itu sebenarnya berbeda besar. Pilihan Singgih jelas bukan yang pertama
ataupun yang kedua, melainkan lebih dekat dengan kemungkinan yang ketiga.
Menurut Donald E Gowan, kemungkinan ketiga ini paling lemah, pertama karena
ayat 3-lah yang seharusnya dilihat sebagai kalimat independen dan tidak
tergantung pada ayat 1-2. Kedua, karena kemungkinan ketiga menyebabkan ayat-ayat
1-3 menjadi seperti yang ia katakan “ona
long rambling sentence”. Pendapat Gowan ini tidak berdasar. Dalam
kemungkinan ketiga tidak masalah melihat ayat 3 sebagai kalimat
independen. Hal itu tidak menjadikan
ayat-ayat 1-3 menjadi lebih panjang atau lebih pendek. Berikut ini ada
istilah-istilah yang akan dibahas yaitu:
Ø Beresyit
Beresyit dalam
RSV (Revised Standard Version)
mengartikannya “In The beginning”.
Tetap dalamn frase ini tidak ada kata ha,
sehingga tidak mungkin menggunakan “The”. Mestinya “in beginning” seperti pengamatan von Wolde yang tepat sekali. LXX
juga sama yaitu “en archei” tanpa
kata sandang. Seharusnya terjemahan Indonesia ialah “semula” bukan “pada
mulanya atau pada permulaannya”. Sayangnya dalam uraian Wolde tidak konsisten
dalam tafsiarnnya, dia kembali lagi ke “In
The Beginning”. Hal itu tidak mengherankan, sebab hal itu sudah terjadi
dari sama Origenens (186-255 M). Kalau dibaca dalam apparatus criticus dari ayat 1 dalam BHS. Maka Origenes mengusulkan
agar kata beresyit dibaca bresith atau bareseth.
Melalui
penafsiran pada berbagai zaman sampai sekarang beresyir dianggap menunjuk pada permulaan absolut yang khas, ketika
belum ada segala sesuatu termasuk ruang dan waktu, hanya Allah sendiri.
Kekahsan itu membuat orang menuntut adanya kata sandang dalam kata itu. Padahal
sesungguhnya dengan tidak adanya kata sandang, itulah kekhasan dari kata
tersebut. Singgih lebih condong kepada kemungkinan yang ketiga, di mana segala
sesuatu belum ada, baru di ayat 3 terang tercipta sebagai keberadaan yang
pertama dan seterusnya. Berarti dalam kemungkinan ketiga ini Allah bisa dilihat
sebagai berada sendiri sebelum ada segala ciptaan. Kata “kita” dalam Kejadian
1:26 dan ungkapan “Allah berkata” di
dalam kejadian 1. Sebab bisahkah kita memahami logika itu. Tentu saja kita bisa
memahaminya sebagai “Allah berkata kepada diri-Nya sendiri”, tetapi kalau itu
maksudnya maka secara harafia akan ditulis “kepada diri-Nya sendiri”. Selain
itu , kata yang menunjuk kepada Yang Ilahi, yaitu Elohim yang langsung
diterjemahkan Allah dalam pengertian tunggal, sebenarnya secara tata bahasa
tidak tepat, sebab Elohim selalu
bermakan jamak. Kita tidak serta-merta mengatakan bahwa walaupun jamak dapat
dibaca tunggal, perlu diingat bahwa bentuk tunggalnya Eloah. Kalau disadari ada kejamakan di dalam kata Elohim, maka barangkali hal ini dapat
membuka pemahaman yang baru.
Kalau Allah sejak semula ada di
dalam sebuah ruangan yang bernama langit, maka dapat pula dipertanyakan apakah
Allah ada diluar waktu. Kalau Allah disebut El
Olam, maka terjemahannyaseharusnya “Allah yang sinamubung”, bukan allah
yang kekal. Oleh karena pengaruh LXX yang mengartikan olam sebagai aioon , maka terjemahan-terjemahan yang
kemudian menggunakan olam sebagai
kekal dalam arti di luar waktu. Menurut Singgih artinya tidak tepat. Makannya
Agustinus berkata “pada mulanya, bukan menunjukkan atau menandakan suatu
permulaan di dalam waktu, melainkan permulaan waktu itu sendiri”. Di pihak
lain, menarik juga memperhatikan usul Francis I Andersen agar ketiadaan kata sandang
pada beresyit memberik kemungkinan
memaknainya bukan sebagai permulan di mana Allah akan menciptakan, tetapi
permulaan cerita, jika hal itu diikuti maka semua spekulasi akan berakhir.
Ø Tohu Wabohu
Tohu wabohu yangdiartikan
oleh Singgih dengan “padang gurun belantara”. Kedua kata kata ini
menurutSpeiser merupakan sebuah “handiadys”. Bohu tidak pernah tanpa tohu.
Tetapi kedua kata ini sering muncul secara bersamaan misalnya Yesaya 34:11
dan Yeremia 4:23. Robert Alter menerjemahkan sebagai “welter dan waste”, tetapi “walter”
berarti campur baur dan menggejolak, karena itu Singgih memilih untuk
memahaminya secara konkret dengan langsung saja menerjemahkan dengan padang
gurun. Hanya Symmachus yang memahaminya secara tidak abstrak, yang lain abstrak
semua, kalimat weha’arets hayetah tohu
wabohu adalah bahwa bumi ini masih kosong melompong dan kesimpulan inilah
yang diambil oleh Tsumura dan Van Wolde. Akan tetapi masalahnya tidak
sesederhana itu oleh karenateks masih menyebut unsur-unsur lain, yang tidak
sesuai dengan gambaran padang belantara. Unsur-unsur itu adalah Khosyek “gelap gulita”, tehom “samudera raya”, hamayin “air”. Menurut para penafsir tehom masih mempunyai hubungan etimologis dengan Tiamat, dewa
Babilonia yang merupakan simbol dari kaos dalam wujud air dan berbentuk berupa
seekor ular naga. Allah tidak usah berperang melawan kuasa-kuasa dalam
pertempuran. Memang betul alam di sini tidak ditempakkan sebagai bergolak
(kecuali kalau kita menerima bahwa samudera raya normalnya bergolak seperti
versi BIS-LAI dan ruakh elohim sebagai
angin ribut bukan angin sepoi-sepoi seperti tafsiran sebagian orang). Jadi
pemikiran Davidson, van Wolde dan Westerman tampaknya mengikuti alur pemikiran:
kaos adalah seperti yang digambarkan dalam kisah-kisah Asia Barat Daya Kuno dan
beberapa bagian dalam PL (mis Mazmur 24,89,104 dan Yesaya 51), yaitu
kuasa-kusaa kegelapan harus dikalahkan dengan pertempuran dan ditahklukan oleh
Allah.
Tetapi karena di dalam Kejadia 1 unsur-unsur alam tidak digambarkan
seperti itu maka itu bukan kaos dan dengan demikian terbuka jalan untuk
memahami Kejadian 1 yang memuat prinsip creatio
ex nihilo. kaos dalam Kejadian 1 tidaklah sama dengan apa yang digambarkan
dalam Mazmur 74,89,104 dan Yesaya 51, unsur-unsur dalam Kejadian 1 bukan
makhluk hidup yang mempunyai kekuatan-kekuatan alternatif terhadap Allah.
Unsur-unsur alam ini digambarkan tenang, tidak bergolak dan tidak jahat.
Singgih amat menghargai Barth yang bisa terbuka pada kenyataan adanya kaos,
namun dalam hal ini Singgih tidak setuju pada pendapatnya yang menilai kaos
dalam Kejadian 1:1-3 sebagai Das Nichtiga
yang menjadi sumber kejahatan. Kalau ayat satu dipandang sebagai penciptaan,
maka ayat 2 dan 3 adalah kerangka penciptaan, kalau tidak maka, ayat 2 adalah
deskripsi mengenai kaos dan ayat 3 mengenai tindakan penciptaan yang pertama.
Ø Ruakh Elohim
Masih ada kemungkiana menambah satu unsur lagi dari tahu wabohu yaitu apabila ruakh elohim tidak diterjemahkn sebagai
“roh Allah” secara tradisional, melainkan “angin yang dahsyat”. Kemungkinan ini
tidak baru sebab para penafsir Yahudi seperti Ibn Ezra dan Maimonides berpikir
demikian. Di pihak lain John Day tidak
setuju dengan terjemahan “angin yang dahsyat” tetapi dia setuju terjemahan ruakh sebagai angin, namun angin dari
Allah.
Usul Day ini memang lebih kuat daripada usulan von Rad, dkk. Karena
mencari pararel baik dari Perjanjian Lama maupun kisah-kisah dari Asia barat
Daya Kuno. Tetapi Singgih juga menganalisis kelemahan pendapat Day. Pertama
Mazmur104:29,30 menyebut ruakh dalam
rangka penciptaan manusia, artinya dalam konteks ayat ini tidak mungkin angin.
Kedua referensi angin di dalam Mazmur 104:3,4 tidak secara eksplisit berperan
dalam penciptaan dan ketiga, dengan menyebut angin sebagai kendaraan dan utusan
TUHAN. Masih ada keberatan yang keempat yang dapat disampaikan kepada Day, berdasarkan argumentasi Tsumura
yang adalah pakar Ugaritica. Kisah-kisah Kanaan boleh jadi berlatarbelakangkan
pertarungan, tetapi tidak berlatarbelakangkan penciptaan sama sekali. Jadi
akhirnya Singgih tidak setuju denga Day mengenai hal ini. Menurut De Roche konteks
Kejadian 1:2c memperlihatkan bahwa ruakh lebih
merupakan bagian dari Yahweh dan dengan demikian berhubungan dengan penciptaan
daripada bagian dari unsur alam dan kerena itu berhubungan dengan kaos. Dalam
kejadian 8:1 dikatakan Allah menutup “pintu-pintu langit dan sumber-sumber tehom”.
Menarik bahwa narator kKejadian 1 membedakan di antara Allah dan Roh
Allah. Secara esensial memang tidak ada perbedaan di antara keduanya, tetapi
narasi yang memberikan kesan bahwa roh Allah yang lebih langsung dan dekat
dengan air yang mendahului penciptaan. Dalam rangka memahami ruakh elohim Singgih cenderung
mengartikan merakhefet sebagai
melayang-layang dalam artian “melesat” seperti dalam konteks Ulanga 32:11.
Jadi, melesat ke bawah, dekat sekali pada permukaan air, siapa masuk ke
dalamnya dan mentransformasikan air tersebut sehingga menjadi ciptaan.
D. Siapa Bilang Tidak ada Kaos? Kesimpulan
Mengenai Tohu Wabohu.
Singgih menyimpulakn bahwa makna Tohu wabohu adalah frase ini menunjuk
kepada situasi pra penciptaan, pada kaos yang digambarkan seperti padang gurung
belantara yang kosong melompong.
Hal itu merujuk kepada ketiadaan
bentuk maupun isi. Jadi bukan buminya yang masih berwujud padang gurun
belantar, tetapi buminya juga belum ada, semuanya masih berupa wujud gurun
belantara yang kosong melompong. Tohu
wabohu juga adalah lambang dari kekosaongan, maka tidak aneh kalau
kekosongan disebutkan dengan unsur-unsur kegelapan.
Kalau kita mengingat kembali perkataan Tsumura
bahwa kaso adalah pengertian dari luar yang dimasukkan ke dalam Alkitab, maka
apakah yang dimaksudkan adalah kaos sebagai pengertan Yunani yang tidak cocok
dengan pengertan Ibrani. Dipihak lain, konsep, creatio ev nihilo adalah juga pengertian Yunani, meskipun benar
pengertian ini adalah pengertian Yunani ekesiastikal yang diperkembangkan dari
teks-teks apokrif dan PB. Jadi antitesa ini menurut Singgih betul dalam konteks
pembicaraan creatio ex nihio tetapi
bukan dalam konteks pembicaraan mengenai kaos!
J.C.L Gibson keberatan dengan
penerjemahan kaos sebagai ‘abyss’,
oleh karena referensi ke kaos di teks Kejadian 1 tidak menggambarkan jurang
yang dalam tetapi air dan samudera raya yang bergolak. Kata itu harus dipahami
secara harafia, maka Singgih mengira itu tidak ada masalah. Gibson berpendapat
seperti pusaran air yang kencang, menujuh kepada kekosongan, hal itu sejalan
dengan sewaktu kita mengosongkan air di wasttafel. Tsumura menolak hal itu,
menurutnya kaos bukan hanya sekedar kekosongan.
Pemahaman kaos seperti kokosongan
berangkat dari pemahaman Yunani yang memperlawankan di antara dua dunia, kaos
dengan yang tadinya kosmos. Kosmos artinya dengan teratur, tertata. Kalau
kosmos diperlawankan dengan kaos, maka dengan sendirinya kaos mendapat makna
ketidakteraturan, campur baur dan kacau. Maka meskipun istilah Ibrani yang
berpadanan dengan kommos tidak ada, keadaan penciptsudah ditangani oleh Allah.
Kata-kata tadi adalah unsur-unsur konkret namun dimaknakan sebagai kekosongan,
maka pertanyaan adalah apakah kaos itu ada atau tidak ada? Kalau kekosongan
diartikan sebagai tidak ada, maka tidak salah kalau kalangan tradisional
Kristen menggunakan istilah creatio ex
nihilo yang memperlihatkan larya penciptaan Tuhan yang ada dari yang tiada.
Ø Bara.
Kejadian 1:1-3 sangat menekankan
keistimewaan kata bara dan keistimewaan firman Allah. Oleh karena bara selalu muncul dengan Allah sebagai
subjek dan tidak pernah bersubjekan manusia dan karena bara selalu diterjemahkan “menciptakan”. Dalam ayat-ayat ini memang
tidak disebutkan material yang digunakan dalam menciptakan. Kata bara mengandung perinsip creatio ex nihilo. kalau diperiksa dalam
kamus-kamus Ibrani, kata bara ini
tidak selalu identik dengan yang Ilahi sebagai subjek. Salah satu dari kata
tersebut “memotong, menebang”. Robert
Carrol, memberikan penjelasan mengenai itu, kemungkinan kata bara dapat diterjemahkan “to cat” (memotong). Jadi pencipta sperti
memotong sebuah pohon yang ada dihutan untuk dijadikan sebagai tempat tinggal.
Secara sederhana pemikiran Carrol mengatakan mengenai kata bara, bahwa itu hanyalah salah satu istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kuasa penciptaan Tuhan. Bukan hanya kata bara tetapi juga dabar memliki
keistimewaan. Kata dabar berarti kata
atau firman, tetapi juga perkara atau kejadian. Berdasarkan kedua pengertian
ini maka kata dabar adalah konkret.
Andaikata tetap dipertahankan bahwa bara dan dabar
penting dan unik secara teologis, perlu di sadari bahwa dabar tidak dipergunakan dalam Kejadian
1-2, yang dipergunakan ialah amar “berkata” yang umum sekali. Memang TB-Lai dipakai “berfirman” tetapi
istilah itu dipakai bukan karena penerjemahan dari kata dabar , tetapi karena hanya kata itulah yang cocok dipadankan
dengan Allah. BIS-LAI mengunakan kata “berkata atau Allah berkata” maka tidak
mesti bahwa semua otomatis terjadi seperti pesulap. Semua memerlukan proses
seperti yang diuraikan dalam Kejadian 1.
Tsumura mempertahankan bahwa bumi dan
padang belantara, laut serta air yang dimaksudkan dalam Kejadian 1 dan 2 adalah
bumi dan padang belantara, laut sama dengan apa yang kita pahami sekarang.
Tetapi, pergumulan ini kalau mau dikatakan pergumulan, tidak berarti bahwa kita
segera menempatkan gambaran dunia masa kuno di dalam gambaran dunia masa kini,
dengan alasan bahwa tanpa melalui gambaran dunia di masa kini, tak mungkin kita
dapat menangkap gambaran dunia di masa lalu, seperti pendapat Gadamer.Perlu
untuk dipahami ada keberlainan anatar dunia zaman kuno dan sekarang(kegelapan).
Kesalahan menurut Singgih ialah kita telalu yakin bahwa pandangan teologis kita
identik dengan teks kitab suci, sehingga semua tafsiran berusaha untuk
membenarkan satu teologi yang diusinh. Alkitab itu jangan dianggap sebagai
kesusatraan yang kuno, melainkan moderen.
Ø Or
Setelah roh dan kesaktian Allah bekerja,
mulailah proses penciptaan sebagai wujud ciptaan yang pertama, terang atau
cahaya tercipta. Terang itu ada untuk membedakan siang dan malam. Setelah itu
diciptakan benda-benda penerang yaitu matahari dan bulan, yang besar adalah
matahari sedangkan yang kecil bulan. Istilah Ibrani untuk matahari dan bulan
ialah syemesy dan yareakh. Kedua kata
ini nama untuk dewa matahari dan bulan. Sedangkan bintang-bintang kokabim yang adalah pasukan-pasukan
ilahi yang menempati pos-pos pemeriksaan tertentu di langit. Di pihak lain
Lempp mengatakan bahwa terang itu berbeda seperti matahari dan bola lamup. Di
situ terang adalah atribut Allah. Tetapi, di sini pun dia mengakui bahwa kita
terbentur pada kenyataan bahwa di dalam Kejadian 1:3 terang itu meruapakan
ciptaan bukan atribut Allah. Manrik bahwa malam di dalam Kejadian 1 bukan
ciptaan dari Allah, melainkan merupakan bagian dari Khosyek (kegelapan), yang merupakan bagian dari alam pera
penciptaan, demikian juga dengan laut. Ada yang menggambarkan sebagai pencipta
yang absolut dalam arti menciptakan segala bentuk yang kelihatan maupun yang
tidak kelihatan, sedangkan ada pula yang menggambarkannya sebagai pencipta yang
tidak absolut, misalnya Kejadian 1-2.
Ø Hayetah
Kata ini merupakan bentuk qal orang III tunggal Feminim dari kata
hayah “adalah”. Perlu untuk diketahui
kata ini bisa berfungsi substantival predicate, yang menjadikannya identik
dengan subjek. Jadi, struktur Kejadian 1:2 bukan hanya Y tadinya adalah XY.
Kalau begitu maka penempatan kata hayetah
sebelum tohu wabohu penting dalam
rangka sintaksis dengan kalimat-kalimat lain dan dalam rangka mendapatkan makna
simantik. Secara khusus kata ini menekankan pada keadaan bumi sebagai belum
berpenduduk saja, seperti telah kita lihat di atas. Padahal masalahnya bukan
mengenai bumi yang belum berpengaruh tetapi mengenai unsur-unsur pra penciptaan
yang belum menjadi bumi.
E. Penutup : Relevansi
Ex Nihilo Nihil Fit berarti “dari ketiadaan tidak mungkin ada yang terjadi atau
tercipta”. Konteks Indonesia tidak mengenal
hal ini. Namun konteks ini sangat relevan di Indonesia. Indonesia adalah
firdaus yang penuh air mata. Tidak mengherankan bahwa tanggapan kita terhadap situasi Indoensia seperti di
atas itu biasanya tidak konsisten: di pihak kita mempertahankan kedaulatan
Allah yang mutlak dan tidak bisa diganggu oleh berbagai kejadian yang
memperihantinkan, termasuk kenyataan bahwa seetiap hari 450 anak kecil meninggal
karena kelaparan seperti yang diberitakan dalam Suara Pembaruan dalam beberapa tahun yang lalu. Barangkali
pemahaman mengenai kaos sebagai unsur pra penciptaan dapat menolong kita
mendapatkan pemahaman teologis yang seimbang. Allah berdaulat, tetapi kedaulatannya
tidak mencakup segala sesuatu.Ia tidak menciptakan kaos, tetapi Ia muncul dan
menata kaos sehingga menjadi ciptaan
yang teratur.Kita telah melihat bagaimana Karl Barth yang selalu menekankan
kedaulatan Allah, toh bisa memberi tempat untuk sesuatu yang di luar Allah,
tetapi bukan ciptaan, yaitu Das Nichtige.
Tetapi, singgih menolak pendapatnya bahwa kaos adalah sumber kejahatan.
Hati manusialah yang menjadi sumber kejahatan.
Jadi,
kita melihat dua posisi yang saling bertentangan:yang satu tenang-tenang tidak
melihat perang, yang lain melihat perang di mana-mana. Dengan kembali pada
posisi teologis seperti yang singgih tawarkan di atas, maka di satu pihak kita
tidak acuh tak acuh pada pelbagai kenyataan penderitaan yang berat dan pahit,
tetapi kita juga tidak panik dan melepaskan ketegangan di antara kaos dan
penciptaan.Dalam rangka ini masih ada satu hal yang jarang dipikirkan, yaitu
mengenai makna positif dari kaos, karena biasanya kita hanya memandang kaos
secarah negatif. Situasi umum di Indonesia yang sangat kacau balau ini biasanya
disebutkan sebagai ”kaos”. Segala tatanan tampaknya menjadi relatif – orang
yang tidak bersalah dapat di hukum berat, sedangkan orang yang bersalah dan
sudah mendapat keputusan pengadilan mengenai hal itu masih bisa bebas dan
bahkan mencalonkan diri menjadi calon presiden untuk pemilu 2004.
Pada
waktu inilah maka menurut singgih ciptaan mendapat maknanya yang negatif, dan
karena itulah maka di dalam teologi Eropa Baratyang neo-ortodoks selalu ada
kritik terhadap apa yang disebut ”tata-ciptaan”, sebab tata-ciptaan ini
mengandaikan bahwa dunia ini adalah sebuah hierarkhi – mulai dengan Tuhan di
surga, kemudian raja atau penguasa di bumi negara dan akhirnya suami/laki-laki
dalam keluarga. Tinggal kita pada masa kini yang harus menentukan dalam konteks
apa kita mau membaca Kejadian 1:1-3, dalam konteks ciptaan sebagai sesuatu yang
positif dan dalam rangka menilai pemerintahan Orde Baru sebagai masa stabil
yang baik atau dalam konteks ciptaan sebagai sesuatu yang negatif, sehingga dengan demikian
masa Reformasi dapat disambut sebagai masa yang memang kaotis, tetapi akan
diubah oleh Roh Allah menjadi ciptaan baru! Biarlah makna kaos yang positif ini
menjadi salah setu perspektif juga dalam membaca teks Kejadian 1:1-3.
Daftar Pustaka
Singgih Emanuel
Gerrit, Dua Konteks “Tafsir Perjanjian
Lama Sebagai Respon Atas Perjalanan Reformasi Di Indonesia”. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar