Rabu, 12 Maret 2014

Laporan Buku Ex Nihilo Nihil Fit dari buku dua konteka dari Pdt. Dr. G. Singgih.


Ex Nihilo Nihil Fit Sebuah Tafsiran Kejadian 1:1-3.
A.  Pendahuluan.
Ketiga ayat di dalam  Kejadian 1:1-3 telah menyibukan banyak penafsir mulai dari zaman para rabi Yahudi sampai kepada para penafsir moderen dan postmoderen. Bagi teologi kristiani tradisional-konvensional yang amat mengutamakan kedaulatan Allah sebagai pencipta alam semesta dan segala sesuatu, hanya ada satu kemungkinan di dalam menafsirkan perikop ini, yaitu menafsirkannya di dalam kerangka prinsip creatio ex nihilo yaitu penciptaan dari ketiadaan, untuk memperlihatkan bahwa Allah amat berkuasa di dalam menciptakan dan tidak memerlukan bahan mentah atau bahan dasar apa pun dalam sabda dan tindakan penciptaannya. Ciptaan adalah sebuah tindakan yang dengan sengaja dan terencana dilakukan oleh Allah dengan tujuan tertentu, sehingga kosmos bukanlah sesuatu kebetulan saja di dalam kegiatan ilahi ataupun emanasi yang mengalir secara otomatis dari yang ilahi. Lempp menjelaskan arti kata “menciptakan” dalam ayat 1 sebagai “.....menciptakan (meng-ada-kan) dunia daripada yang tidak”. Ketika Lempp sampai ke ayat 2, ia mengatakan bahwa ayat 2 bertentangan dengan ayat 1. Bagaimanakah mungkin bumi ada dalam keadaan “belum berbentuk dan kosong”. Langit dan bumi ciptaan Allah tidak terjadi dengan sendirinya melainkan memerlukan tindakan-tindakan pemberesan dan penyusunan dari Allah. Dunia beraturan ini adalah akibat dari penciptaan yang terus-menerus berkembang (creatio continua). Andaikata Allah tidak mengatur dunia seperti ini, maka dunia akan jatuh kembali ke dalam keadaan campur baur (kaos). Di satu sisi Lempp mengatakan bahwa dunia yang sudah diciptakan itu masih belum teratur (masih campur baur, berati masih berupa kaos) dan karena itu masih memerlukan tindakan penciptaan Allah yang berkesinambungan. Ada dua hal yang hendak dikemukakan oleh Lempp, yaitu Allah mula-mula menciptakan kaos yang berupa ketidakteraturan dan kemudian Allah menangani ketidakteraturan itu sehingga menjadi teratur. Tetapi, di pihak lain ia juga mengatakan bahwa penciptaan yang baik dan beres (jadi sejak pertama sudah teratur) itu selalu diancam oleh kaos. Apa alasan Lempp memberikan dua penjelasan yang berbeda?
Di dalam kata pengantar dari setiap jilid tafsirannya Lempp selalu mengakui bahwa dia menyadur buku tafsir Kejadian karangan Gerhard Von Rad. Dalam pengantar tafsir kejadian 1:1-2:4a, von Rad menekankan bahwa teks itu berisi doktrin kaum imam yang kandungan teologinya jelas sekali. Jadi tidak seperti Lempp, von Rad menolak bahwa pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi yang berbeda dalam keadaan kaos. Namu di lain pihak, di dalam teks ada kata “bara” “menciptakan” yang menurut von Rad mengandung makna creatio ex nihilo. meskipun  von Rad mengakui bahwa di dalam teks ada uraian mengenai kaos, uraian itu merupakan sebuah spekulasi teologi yang mendalam, yang mencoba melihat kebelakang, melampau ciptaan. Jadi tidak hanya ada rujukan mengenai ketiadaan dan ciptaan, tetapi juga mengenai kaos dan kosmos. Von Rad juga bersedia untuk menerima tafsiran alternatif dari ruakh elohim yang oleh yang lain diterjemahkan sebagai “angin besar”. Itu berarti ruakh elohim pun adalah bagian dari kaos dan bukan dari Allah. Namun menurut Lempp, von Rad juga menerima ruakh elohim sebagai Roh Allah. Dapat disimpulkan bahwa  garis besar Lempp mengikuti von Rad. Di antaranya di satu pihak menerima prinsip teologis cratio ex nihilo dalam bacaan teks Kejadian 1:1-3, namun serius untuk menyadari keberadaan teks yang ada menyebut mengenai unsur-unsur kaos. Kalau begitu kaos itu apa secara ontologis? Kedua-duanya tidak menyebut Karl Barth, raksasa teologi dari Jerman. Ada dugaan bahwa kedua tafsiran dari Lempp dan von Rad dipengaruhi oleh teologi Barth, hal itu didasarkan bahwa uraian von Rad dan Lempp mengenai kaos sebagai hasil kecurigaan manusia bahwa dibalik ciptaan ada jurang kekacaubalauan dan bahwa kaos adalah ancaman terhadap ciptaan. Maka iman akan penciptaan harus tahan akan ini. Barth menguraikan mengenai sesuatu yang berada di luar Allah dan melawan Allah, tetapi tetap tunduk di bawah Allah. Sesuatu ini bukan ciptaan dan karena itu tidak dapat dikatakan “ada”. Barth menyebutnya Das nichtige, yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris “nothingness” dalam bahasa Indonesia “ketiadaan”. Namun ketiadaan ini bukannya “tidak ada” dalam pengertiaan yang biasa, melainkan merupakan sesuatu yang berwujud. Pemahaman tentang Barth mengenai hal ini Allah “menciptakan ruang” bagi ciptaan-Nya dengan jalan mengosongkan ruangan yang tadinya di isi oleh-Nya. Ruangan yang “dikosongkan” ini ada ketiadaan, yang diidentikan dengan apa yang bukan Allah. Menurutnya “yang kosong” ini adalah kaos seperti yang terdapat di dalam teks Kejadian 1:2, yang dapat dianggap sebagai sumber kejahatan. Des nichtige bukan ciptaan Tuhan. Paling banyak kita hanya dapat mengatakan bahwa ketiadaan merupakan “produk sampingan” dari pengadaan ruang bagi ciptaan, namun produk ini tidak dikehendaki Allah dan merupakan lawan dari Allah. Kaos meupakan negasi dari ciptaan.
B.  Siapa Bilang Ada Kaos? David Toshio Tsumura dan Elan Van Wolde.
Menurut Toshio Tsumura, seorang pakar bahasa-bahasa kuno Asia Barat-Daya kuno, semua unsur alam di dalam Kejadian 1-2 dan Kejadian 7-8 tidak ada kaitannya dengan kaos. Asumsinya bahwa di dalam Kejadian 1-3 ada kaos tetapi tidak dapat dibuktikan dalam ilmu linguistik dan andaikata mereka mencari dukungan dari sastra kuno PL pun jelas bahwa sastra kuno tidak merujuk kepada kaos. Dari sudut tafsir narasi juga ada pandangan yang baru yang tidak melihat petunjuk bahwa teksnya bisa mengandaikan kaos. Pendapat Tsumura dan van Wolde ini tidak dapat dipertahankan. Tradisi kristiani tradisional-konvensional yang mengasumsi bahwa prinsip creatio ex nihilo merupakan pemahaman yang amat dominan dalam konteks indonesia, maka disajikan beberapa alternatif salah satunya yang telah dikemukakan oleh Gerrit Singgih.
C.  Tafsiran Kejadian 1:1-3
Ayat 1: beresyit bara elohim et hasyamayim we et ha’arets.
Ayat 2:wehe’arets hayetah tohu wabohu wkhosyek al penei tehom weruakh elohim merakhefet al penei hamayim.
Ayat 3: wayomer elohim yehi or wayehi or.
Terjemahan.
Ayat 1: semula, ketika Allah menciptakan langit dan bumi,
Ayat 2: bumi itu tadinya padang gurun belantara, (dan) gelap gulita di atas permukaan samudera raya. Namun kemudian roh Allah melayang-layang di atas muka air.
Ayat 3: dan Allah berkata; “biarlah ada terang” lalu terjadilah terang.
·      Tafsirannya.
Terjemahan ayat 1-3 berbeda dari 2 terjemahan Alkitab dalam bahasa Indonesia, yaitu TB-LAI dan BIS-LAI. Terjemahaan yang mirip dengan Singgih adalah BIS-LAI. TB-LAI memisahkan ayat 1 dari kedua ayat yang lain, dengan jalan memahaminya sebagai statement umum mengenai penciptaan. Menurut Robert Davidson ada tiga kemungkinan untuk memahami ayat-ayat ini:
ü  Menganggap ayat 1 sebagai kalimat independen yang merupakan sebuah pernyataan teologis dan pernyataan ini tidak berhubungan denga ayat 2 dan 3.
ü  Menganggap ayat 1 sebagau klausa temporal.
ü  Setelah Ayat 1 dilihat sebagai klausa temporal, seluruh ayat dua dapat dilihat sebagai anak kalimat yang menerangkan tentang kaos.
Menurut Davidson, ketiga kemungkinan menerjemahkan ini sah secara linguistik. Tetapi, dilihat dari konteksnya, Davidson dan banyak penafsir lain memilih kemungkinan yang pertama. Alasanya adalah bahwa Kejadian 1:1-2:4a merupakan sebuah tulisan teologis yang secara tegas mau menyatakan atau memproklamasikan bahwa Allah itu adalah Allah pencipta yang telah menciptakan langit dan bumi. Kemungkinan kedua dan ketiga dapat diterima oleh karena ada pararel dengan kisah penciptaan Mesopotamia Enuma Elish yang dimulai dengan klausa temporel. Tetapu menurut Davidson, justru teks Kejadian 1:1-2:4a merupakan “counterstatement” terhadap beberapa prseuposisi yang terdapat dalam kisah-kisah semacam itu. Salah satunnya adalah asumsi penciptaan terjadi karena konflik. Tetapi dalam bagian ini sama sekali tidak menyajikan konflik. Sepintas lalu karangan Davidson yang kedua dan ketiga tampaknya tidak berbeda secara esensial. Tetapai, sebenarnya Davidson berasumsi bahwa kemungkinan adanya kaos sebelum penciptaan dan kaos ini mengikuti kemungkinan pertama tidak menerima adanya, kaos, tetapi Davidson sebagai salah satu pengikut kemungkinan yang pertama yaitu menerimanya. Maka penjelasannya mengenai kemungkinan 2 dan 3 yang tampaknya dekat atau hampir sama itu sebenarnya berbeda besar. Pilihan Singgih jelas bukan yang pertama ataupun yang kedua, melainkan lebih dekat dengan kemungkinan yang ketiga. Menurut Donald E Gowan, kemungkinan ketiga ini paling lemah, pertama karena ayat 3-lah yang seharusnya dilihat sebagai kalimat independen dan tidak tergantung pada ayat 1-2. Kedua, karena kemungkinan ketiga menyebabkan ayat-ayat 1-3 menjadi seperti yang ia katakan “ona long rambling sentence”. Pendapat Gowan ini tidak berdasar. Dalam kemungkinan ketiga tidak masalah melihat ayat 3 sebagai kalimat independen.  Hal itu tidak menjadikan ayat-ayat 1-3 menjadi lebih panjang atau lebih pendek. Berikut ini ada istilah-istilah yang akan dibahas yaitu:
Ø  Beresyit
Beresyit dalam RSV (Revised Standard Version) mengartikannya “In The beginning”. Tetap dalamn frase ini tidak ada kata ha, sehingga tidak mungkin menggunakan “The”. Mestinya “in beginning” seperti pengamatan von Wolde yang tepat sekali. LXX juga sama yaitu “en archei” tanpa kata sandang. Seharusnya terjemahan Indonesia ialah “semula” bukan “pada mulanya atau pada permulaannya”. Sayangnya dalam uraian Wolde tidak konsisten dalam tafsiarnnya, dia kembali lagi ke “In The Beginning”. Hal itu tidak mengherankan, sebab hal itu sudah terjadi dari sama Origenens (186-255 M). Kalau dibaca dalam apparatus criticus dari ayat 1 dalam BHS. Maka Origenes mengusulkan agar kata beresyit dibaca bresith atau bareseth.
Melalui penafsiran pada berbagai zaman sampai sekarang beresyir dianggap menunjuk pada permulaan absolut yang khas, ketika belum ada segala sesuatu termasuk ruang dan waktu, hanya Allah sendiri. Kekahsan itu membuat orang menuntut adanya kata sandang dalam kata itu. Padahal sesungguhnya dengan tidak adanya kata sandang, itulah kekhasan dari kata tersebut. Singgih lebih condong kepada kemungkinan yang ketiga, di mana segala sesuatu belum ada, baru di ayat 3 terang tercipta sebagai keberadaan yang pertama dan seterusnya. Berarti dalam kemungkinan ketiga ini Allah bisa dilihat sebagai berada sendiri sebelum ada segala ciptaan. Kata “kita” dalam Kejadian 1:26 dan  ungkapan “Allah berkata” di dalam kejadian 1. Sebab bisahkah kita memahami logika itu. Tentu saja kita bisa memahaminya sebagai “Allah berkata kepada diri-Nya sendiri”, tetapi kalau itu maksudnya maka secara harafia akan ditulis “kepada diri-Nya sendiri”. Selain itu , kata yang menunjuk kepada Yang Ilahi, yaitu Elohim  yang langsung diterjemahkan Allah dalam pengertian tunggal, sebenarnya secara tata bahasa tidak tepat, sebab Elohim selalu bermakan jamak. Kita tidak serta-merta mengatakan bahwa walaupun jamak dapat dibaca tunggal, perlu diingat bahwa bentuk tunggalnya Eloah. Kalau disadari ada kejamakan di dalam kata Elohim, maka barangkali hal ini dapat membuka pemahaman yang baru.
            Kalau Allah sejak semula ada di dalam sebuah ruangan yang bernama langit, maka dapat pula dipertanyakan apakah Allah ada diluar waktu. Kalau Allah disebut El Olam, maka terjemahannyaseharusnya “Allah yang sinamubung”, bukan allah yang kekal. Oleh karena pengaruh LXX yang mengartikan  olam sebagai aioon , maka terjemahan-terjemahan yang kemudian menggunakan olam sebagai kekal dalam arti di luar waktu. Menurut Singgih artinya tidak tepat. Makannya Agustinus berkata “pada mulanya, bukan menunjukkan atau menandakan suatu permulaan di dalam waktu, melainkan permulaan waktu itu sendiri”. Di pihak lain, menarik juga memperhatikan usul Francis I Andersen agar ketiadaan kata sandang pada beresyit memberik kemungkinan memaknainya bukan sebagai permulan di mana Allah akan menciptakan, tetapi permulaan cerita, jika hal itu diikuti maka semua spekulasi akan berakhir.
Ø  Tohu Wabohu
Tohu wabohu yangdiartikan oleh Singgih dengan “padang gurun belantara”. Kedua kata kata ini menurutSpeiser merupakan sebuah  handiadys”. Bohu tidak pernah tanpa tohu. Tetapi kedua kata ini sering muncul secara bersamaan misalnya Yesaya 34:11 dan Yeremia 4:23. Robert Alter menerjemahkan sebagai “welter dan waste”, tetapi “walter” berarti campur baur dan menggejolak, karena itu Singgih memilih untuk memahaminya secara konkret dengan langsung saja menerjemahkan dengan padang gurun. Hanya Symmachus yang memahaminya secara tidak abstrak, yang lain abstrak semua, kalimat weha’arets hayetah tohu wabohu adalah bahwa bumi ini masih kosong melompong dan kesimpulan inilah yang diambil oleh Tsumura dan Van Wolde. Akan tetapi masalahnya tidak sesederhana itu oleh karenateks masih menyebut unsur-unsur lain, yang tidak sesuai dengan gambaran padang belantara. Unsur-unsur itu adalah Khosyek “gelap gulita”, tehom “samudera raya”, hamayin “air”. Menurut para penafsir tehom masih mempunyai hubungan etimologis dengan Tiamat, dewa Babilonia yang merupakan simbol dari kaos dalam wujud air dan berbentuk berupa seekor ular naga. Allah tidak usah berperang melawan kuasa-kuasa dalam pertempuran. Memang betul alam di sini tidak ditempakkan sebagai bergolak (kecuali kalau kita menerima bahwa samudera raya normalnya bergolak seperti versi BIS-LAI dan ruakh elohim sebagai angin ribut bukan angin sepoi-sepoi seperti tafsiran sebagian orang). Jadi pemikiran Davidson, van Wolde dan Westerman tampaknya mengikuti alur pemikiran: kaos adalah seperti yang digambarkan dalam kisah-kisah Asia Barat Daya Kuno dan beberapa bagian dalam PL (mis Mazmur 24,89,104 dan Yesaya 51), yaitu kuasa-kusaa kegelapan harus dikalahkan dengan pertempuran dan ditahklukan oleh Allah.
Tetapi karena di dalam Kejadia 1 unsur-unsur alam tidak digambarkan seperti itu maka itu bukan kaos dan dengan demikian terbuka jalan untuk memahami Kejadian 1 yang memuat prinsip creatio ex nihilo. kaos dalam Kejadian 1 tidaklah sama dengan apa yang digambarkan dalam Mazmur 74,89,104 dan Yesaya 51, unsur-unsur dalam Kejadian 1 bukan makhluk hidup yang mempunyai kekuatan-kekuatan alternatif terhadap Allah. Unsur-unsur alam ini digambarkan tenang, tidak bergolak dan tidak jahat. Singgih amat menghargai Barth yang bisa terbuka pada kenyataan adanya kaos, namun dalam hal ini Singgih tidak setuju pada pendapatnya yang menilai kaos dalam Kejadian 1:1-3 sebagai Das Nichtiga yang menjadi sumber kejahatan. Kalau ayat satu dipandang sebagai penciptaan, maka ayat 2 dan 3 adalah kerangka penciptaan, kalau tidak maka, ayat 2 adalah deskripsi mengenai kaos dan ayat 3 mengenai tindakan penciptaan yang pertama.
Ø  Ruakh Elohim
Masih ada kemungkiana menambah satu unsur lagi dari tahu wabohu yaitu apabila ruakh elohim tidak diterjemahkn sebagai “roh Allah” secara tradisional, melainkan “angin yang dahsyat”. Kemungkinan ini tidak baru sebab para penafsir Yahudi seperti Ibn Ezra dan Maimonides berpikir demikian. Di  pihak lain John Day tidak setuju dengan terjemahan “angin yang dahsyat” tetapi dia setuju terjemahan ruakh sebagai angin, namun angin dari Allah.
Usul Day ini memang lebih kuat daripada usulan von Rad, dkk. Karena mencari pararel baik dari Perjanjian Lama maupun kisah-kisah dari Asia barat Daya Kuno. Tetapi Singgih juga menganalisis kelemahan pendapat Day. Pertama Mazmur104:29,30 menyebut ruakh dalam rangka penciptaan manusia, artinya dalam konteks ayat ini tidak mungkin angin. Kedua referensi angin di dalam Mazmur 104:3,4 tidak secara eksplisit berperan dalam penciptaan dan ketiga, dengan menyebut angin sebagai kendaraan dan utusan TUHAN. Masih ada keberatan yang keempat yang dapat disampaikan  kepada Day, berdasarkan argumentasi Tsumura yang adalah pakar Ugaritica. Kisah-kisah Kanaan boleh jadi berlatarbelakangkan pertarungan, tetapi tidak berlatarbelakangkan penciptaan sama sekali. Jadi akhirnya Singgih tidak setuju denga Day mengenai hal ini. Menurut De Roche konteks Kejadian 1:2c memperlihatkan bahwa ruakh lebih merupakan bagian dari Yahweh dan dengan demikian berhubungan dengan penciptaan daripada bagian dari unsur alam dan kerena itu berhubungan dengan kaos. Dalam kejadian 8:1 dikatakan Allah menutup “pintu-pintu langit dan sumber-sumber tehom”.
Menarik bahwa narator kKejadian 1 membedakan di antara Allah dan Roh Allah. Secara esensial memang tidak ada perbedaan di antara keduanya, tetapi narasi yang memberikan kesan bahwa roh Allah yang lebih langsung dan dekat dengan air yang mendahului penciptaan. Dalam rangka memahami ruakh elohim Singgih cenderung mengartikan merakhefet sebagai melayang-layang dalam artian “melesat” seperti dalam konteks Ulanga 32:11. Jadi, melesat ke bawah, dekat sekali pada permukaan air, siapa masuk ke dalamnya dan mentransformasikan air tersebut sehingga menjadi ciptaan.
D.  Siapa Bilang Tidak ada Kaos? Kesimpulan Mengenai Tohu Wabohu.
       Singgih menyimpulakn bahwa makna Tohu wabohu adalah frase ini menunjuk kepada situasi pra penciptaan, pada kaos yang digambarkan seperti padang gurung belantara yang kosong melompong.  Hal  itu merujuk kepada ketiadaan bentuk maupun isi. Jadi bukan buminya yang masih berwujud padang gurun belantar, tetapi buminya juga belum ada, semuanya masih berupa wujud gurun belantara yang kosong melompong. Tohu wabohu juga adalah lambang dari kekosaongan, maka tidak aneh kalau kekosongan disebutkan dengan unsur-unsur kegelapan.
        Kalau kita mengingat kembali perkataan Tsumura bahwa kaso adalah pengertian dari luar yang dimasukkan ke dalam Alkitab, maka apakah yang dimaksudkan adalah kaos sebagai pengertan Yunani yang tidak cocok dengan pengertan Ibrani. Dipihak lain, konsep, creatio ev nihilo adalah juga pengertian Yunani, meskipun benar pengertian ini adalah pengertian Yunani ekesiastikal yang diperkembangkan dari teks-teks apokrif dan PB. Jadi antitesa ini menurut Singgih betul dalam konteks pembicaraan creatio ex nihio tetapi bukan dalam konteks pembicaraan mengenai kaos!
       J.C.L Gibson keberatan dengan penerjemahan kaos sebagai ‘abyss’, oleh karena referensi ke kaos di teks Kejadian 1 tidak menggambarkan jurang yang dalam tetapi air dan samudera raya yang bergolak. Kata itu harus dipahami secara harafia, maka Singgih mengira itu tidak ada masalah. Gibson berpendapat seperti pusaran air yang kencang, menujuh kepada kekosongan, hal itu sejalan dengan sewaktu kita mengosongkan air di wasttafel. Tsumura menolak hal itu, menurutnya kaos bukan hanya sekedar kekosongan.
       Pemahaman kaos seperti kokosongan berangkat dari pemahaman Yunani yang memperlawankan di antara dua dunia, kaos dengan yang tadinya kosmos. Kosmos artinya dengan teratur, tertata. Kalau kosmos diperlawankan dengan kaos, maka dengan sendirinya kaos mendapat makna ketidakteraturan, campur baur dan kacau. Maka meskipun istilah Ibrani yang berpadanan dengan kommos tidak ada, keadaan penciptsudah ditangani oleh Allah. Kata-kata tadi adalah unsur-unsur konkret namun dimaknakan sebagai kekosongan, maka pertanyaan adalah apakah kaos itu ada atau tidak ada? Kalau kekosongan diartikan sebagai tidak ada, maka tidak salah kalau kalangan tradisional Kristen menggunakan istilah creatio ex nihilo yang memperlihatkan larya penciptaan Tuhan yang ada dari yang tiada.
Ø  Bara.
       Kejadian 1:1-3 sangat menekankan keistimewaan kata bara dan keistimewaan firman Allah. Oleh karena bara selalu muncul dengan Allah sebagai subjek dan tidak pernah bersubjekan manusia dan karena bara selalu diterjemahkan “menciptakan”. Dalam ayat-ayat ini memang tidak disebutkan material yang digunakan dalam menciptakan. Kata bara mengandung perinsip creatio ex nihilo. kalau diperiksa dalam kamus-kamus Ibrani, kata bara ini tidak selalu identik dengan yang Ilahi sebagai subjek. Salah satu dari kata tersebut  “memotong, menebang”. Robert Carrol, memberikan penjelasan mengenai itu, kemungkinan kata bara dapat diterjemahkan “to cat” (memotong). Jadi pencipta sperti memotong sebuah pohon yang ada dihutan untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Secara sederhana pemikiran Carrol mengatakan mengenai kata bara, bahwa itu hanyalah salah satu istilah yang digunakan untuk menggambarkan kuasa penciptaan Tuhan. Bukan hanya kata bara tetapi juga dabar memliki keistimewaan. Kata dabar berarti kata atau firman, tetapi juga perkara atau kejadian. Berdasarkan kedua pengertian ini maka kata dabar adalah konkret.
       Andaikata tetap dipertahankan bahwa bara  dan dabar penting dan unik secara teologis, perlu di sadari bahwa dabar tidak dipergunakan dalam Kejadian 1-2, yang dipergunakan ialah amar “berkatayang umum sekali. Memang TB-Lai dipakai “berfirman” tetapi istilah itu dipakai bukan karena penerjemahan dari kata dabar , tetapi karena hanya kata itulah yang cocok dipadankan dengan Allah. BIS-LAI mengunakan kata “berkata atau Allah berkata” maka tidak mesti bahwa semua otomatis terjadi seperti pesulap. Semua memerlukan proses seperti yang diuraikan dalam Kejadian 1.
       Tsumura mempertahankan bahwa bumi dan padang belantara, laut serta air yang dimaksudkan dalam Kejadian 1 dan 2 adalah bumi dan padang belantara, laut sama dengan apa yang kita pahami sekarang. Tetapi, pergumulan ini kalau mau dikatakan pergumulan, tidak berarti bahwa kita segera menempatkan gambaran dunia masa kuno di dalam gambaran dunia masa kini, dengan alasan bahwa tanpa melalui gambaran dunia di masa kini, tak mungkin kita dapat menangkap gambaran dunia di masa lalu, seperti pendapat Gadamer.Perlu untuk dipahami ada keberlainan anatar dunia zaman kuno dan sekarang(kegelapan). Kesalahan menurut Singgih ialah kita telalu yakin bahwa pandangan teologis kita identik dengan teks kitab suci, sehingga semua tafsiran berusaha untuk membenarkan satu teologi yang diusinh. Alkitab itu jangan dianggap sebagai kesusatraan yang kuno, melainkan moderen.
Ø  Or
       Setelah roh dan kesaktian Allah bekerja, mulailah proses penciptaan sebagai wujud ciptaan yang pertama, terang atau cahaya tercipta. Terang itu ada untuk membedakan siang dan malam. Setelah itu diciptakan benda-benda penerang yaitu matahari dan bulan, yang besar adalah matahari sedangkan yang kecil bulan. Istilah Ibrani untuk matahari dan bulan ialah syemesy dan yareakh. Kedua kata ini nama untuk dewa matahari dan bulan. Sedangkan bintang-bintang kokabim yang adalah pasukan-pasukan ilahi yang menempati pos-pos pemeriksaan tertentu di langit. Di pihak lain Lempp mengatakan bahwa terang itu berbeda seperti matahari dan bola lamup. Di situ terang adalah atribut Allah. Tetapi, di sini pun dia mengakui bahwa kita terbentur pada kenyataan bahwa di dalam Kejadian 1:3 terang itu meruapakan ciptaan bukan atribut Allah. Manrik bahwa malam di dalam Kejadian 1 bukan ciptaan dari Allah, melainkan merupakan bagian dari Khosyek (kegelapan), yang merupakan bagian dari alam pera penciptaan, demikian juga dengan laut. Ada yang menggambarkan sebagai pencipta yang absolut dalam arti menciptakan segala bentuk yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, sedangkan ada pula yang menggambarkannya sebagai pencipta yang tidak absolut, misalnya Kejadian 1-2.
Ø  Hayetah
       Kata ini merupakan bentuk qal orang III tunggal Feminim dari kata hayah “adalah”. Perlu untuk diketahui kata ini bisa berfungsi substantival predicate, yang menjadikannya identik dengan subjek. Jadi, struktur Kejadian 1:2 bukan hanya Y tadinya adalah XY. Kalau begitu maka penempatan kata hayetah sebelum tohu wabohu penting dalam rangka sintaksis dengan kalimat-kalimat lain dan dalam rangka mendapatkan makna simantik. Secara khusus kata ini menekankan pada keadaan bumi sebagai belum berpenduduk saja, seperti telah kita lihat di atas. Padahal masalahnya bukan mengenai bumi yang belum berpengaruh tetapi mengenai unsur-unsur pra penciptaan yang belum menjadi bumi.
E.  Penutup : Relevansi
Ex Nihilo Nihil Fit berarti “dari ketiadaan tidak mungkin ada yang terjadi atau tercipta”. Konteks Indonesia tidak mengenal  hal ini. Namun konteks ini sangat relevan di Indonesia. Indonesia adalah firdaus yang penuh air mata. Tidak mengherankan bahwa tanggapan  kita terhadap situasi Indoensia seperti di atas itu biasanya tidak konsisten: di pihak kita mempertahankan kedaulatan Allah yang mutlak dan tidak bisa diganggu oleh berbagai kejadian yang memperihantinkan, termasuk kenyataan bahwa seetiap hari 450 anak kecil meninggal karena kelaparan seperti yang diberitakan dalam Suara Pembaruan dalam beberapa tahun yang lalu. Barangkali pemahaman mengenai kaos sebagai unsur pra penciptaan dapat menolong kita mendapatkan pemahaman teologis yang seimbang. Allah berdaulat, tetapi kedaulatannya tidak mencakup segala sesuatu.Ia tidak menciptakan kaos, tetapi Ia muncul dan menata kaos sehingga menjadi  ciptaan yang teratur.Kita telah melihat bagaimana Karl Barth yang selalu menekankan kedaulatan Allah, toh bisa memberi tempat untuk sesuatu yang di luar Allah, tetapi bukan ciptaan, yaitu Das Nichtige. Tetapi, singgih menolak pendapatnya bahwa kaos adalah sumber kejahatan. Hati manusialah yang menjadi sumber kejahatan.
Jadi, kita melihat dua posisi yang saling bertentangan:yang satu tenang-tenang tidak melihat perang, yang lain melihat perang di mana-mana. Dengan kembali pada posisi teologis seperti yang singgih tawarkan di atas, maka di satu pihak kita tidak acuh tak acuh pada pelbagai kenyataan penderitaan yang berat dan pahit, tetapi kita juga tidak panik dan melepaskan ketegangan di antara kaos dan penciptaan.Dalam rangka ini masih ada satu hal yang jarang dipikirkan, yaitu mengenai makna positif dari kaos, karena biasanya kita hanya memandang kaos secarah negatif. Situasi umum di Indonesia yang sangat kacau balau ini biasanya disebutkan sebagai ”kaos”. Segala tatanan tampaknya menjadi relatif – orang yang tidak bersalah dapat di hukum berat, sedangkan orang yang bersalah dan sudah mendapat keputusan pengadilan mengenai hal itu masih bisa bebas dan bahkan mencalonkan diri menjadi calon presiden untuk pemilu 2004.
Pada waktu inilah maka menurut singgih ciptaan mendapat maknanya yang negatif, dan karena itulah maka di dalam teologi Eropa Baratyang neo-ortodoks selalu ada kritik terhadap apa yang disebut ”tata-ciptaan”, sebab tata-ciptaan ini mengandaikan bahwa dunia ini adalah sebuah hierarkhi – mulai dengan Tuhan di surga, kemudian raja atau penguasa di bumi negara dan akhirnya suami/laki-laki dalam keluarga. Tinggal kita pada masa kini yang harus menentukan dalam konteks apa kita mau membaca Kejadian 1:1-3, dalam konteks ciptaan sebagai sesuatu yang positif dan dalam rangka menilai pemerintahan Orde Baru sebagai masa stabil yang baik atau dalam konteks ciptaan sebagai sesuatu yang negatif,  sehingga dengan demikian masa Reformasi dapat disambut sebagai masa yang memang kaotis, tetapi akan diubah oleh Roh Allah menjadi ciptaan baru! Biarlah makna kaos yang positif ini menjadi salah setu perspektif juga dalam membaca teks Kejadian 1:1-3.

Daftar Pustaka
Singgih Emanuel Gerrit, Dua Konteks “Tafsir Perjanjian Lama Sebagai Respon Atas Perjalanan Reformasi Di Indonesia”. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar